مناهج
المحد ثين
Pasal yang
pertama
Mengenai definisi
umum metode-metode para ahli hadits Metode-metode para ahli hadits secara
etimologi:
Ungkapan ini
(metode-metode para ahli hadits) adalah bentuk murokab idhofi (susunan
kalimat yang terdiri dari 'mudhof dan 'mudhof ilaih') yang tersusun dari 2 kata yaitu (manaahij) dan (almuhaddisin). Dan
arti secara lugowi untuk ungkapan ini adalah cara-cara yang ditempuh
oleh para ahli hadits mengenai urusan-urusan mereka,
dan secara mutlak ungkapan itu mencakup ibadat, muamalat, pembahasan ilmu-ilmu
umum dan hal-hal yang lain berupa hal yang umum ataupun khusus. Diantaranya adalah periwayatan para ahli hadits
tentang hadits dengan sanadnya atau mentakhnj hadits yaitu mereka
menyandarkan hadits itu pada asalnya (sesuai referensi) yang ia riwayatkan
dengan sanad.
Metode-metode para ahli hadits secara istilah:
Kami pilih mengenai definisi
metode-metode para ahli hadits dapat kami katakan:
yaitu cara-cara yang diikuti oleh para ahli hadits dalam meriwayatkan hadits, dalam meyusun hadits, tujuan-tujuan fiqih^ dan
seni sanad yang mereka rumuskan di luar hal tersebut.
Dan
ucapan kami "meriwayatkan hadits" mencakup periwayatan melalui ucapan
dan periwayatan melalui lembaran yang tertulis atau
kitab. Dan termasuk dalam hal itu adalah
cara-cara membawa hadits, menyampaikannya, hukum masing-masing dari kesemuannya
dan Iain-lain.
Dan ucapan kami "menyusun
hadits" mencakup metode-metode penyusunan secara umum yaitu macam-macam bentk karangan mengenai hadits nabi.
Dan ucapan
kami "tujuan-tujuan fiqih dan seni sanad" menunjukkan metode-metode masing-masing karangan secara khusus mengenai
penjelasan isi hadits yang ditunjukkannya, dan metode-metode
mereka secara khusus mengandung seni yang modern dalam kitab-kitab yang mereka susun.
Hal itu mencakup syarat-syarat para imam dan isyarat-isyarat dari setiap imam
yang ia tunjukkan karena ada faedah-faedah
yang baru yang ia kemukakan bagi si pembaca ataupun tujuan-tujuan yang ia rumusan
dan Iain-lain.
Dan pencakupan ini lebih layak untuk
judul ini. Sebagimana halnya bahwa pencakupan ini lebih memenuhi tujuan
dibandingkan hanya menyebutkan metode-metode
mengenai karangan, baik metode-metode umum dalam pengurutan hadits atau
metode-metode khusus mengenai fiqih dan seni yaitu menunjukkan pengetahuan-pengetahuan modern dalam sanad-sanad dan matan
(redaksi hadits). Karena pencakupan yang kami sebutkan itu lebih jelas
mengenai metode-metode periwatan hadits, dan tentang hal ini banyak para
penuntut ilmu yang melalaikannya, dan bagaimana tidak sungguh telah banyak dari
para guru modem yang menulis tentang ilmu-limu hadits atau istilah para ahli hadits. Padahal metode-metode periwayatan ahli
hadits merupakan rukun dalam
pengetahuan perpindahan hadits melalui lingkaran-lingkaran sanad, perpindahan
yang kokoh dasar hukumnya atau yang dihukumkan denga qaedah-qaedah dan batasan-batasan yang halus yang dapat
menjalin keselamatan (kebersihan) nash dalam perpindahan ini dan
menyatakan bersambungnya sanad.
Karangan mengenai metode-metode para ahli hadits :
Pembahasan ini dimulai dengan
pendapat-pendapat para imam yang memiliki keahlian
dalam mengarang yang mereka ungkapkan mengenai metode mereka dalam karangan-karangan
mereka, di samping telah tampak karangan-karanngan mereka sendiri, seperti penukilan mengenai cara imam
Malik dalam Muwaththa' dan imam Bukhari dalam shahihnya.
Kemudian para pengarang menulis
tulisan-tulisan, di situ mereka menjelaskan mengenai metode-metode mereka dalam
kitab-kitab mereka dan hal tersebut merupakan
cikal bakal bagi karangan mengenai metode-metode para ahli hadits
Adapun karangan-karangan yang ditulis oleh para pengarang
itu sendiri banyak:
Yang paling penting dan yang paling
lama adalah mukoddimah imam Muslim bin al-Hajjaj (w: 261 H) karyanya berupa
jami'shahih muslim, risalah Abu Daud as-Sijistani (w: 275 H) karya para ulama
Mekkah serta kitab al-'ilal as-shoghir karya imam Turmudzi Muhammad bin Isa (w:
279) yang ia jadikan sebagai penutup kitab jami'nya.
Ibn mas’ud, dan Anas, Abu Darda, dan selain mereka melakukan hal itu.
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a menceritakan dia
berkata: ((saya mendengar akan rasululullah saw)). Kemudian menaikan akan
pakaianya maka bersabda: atau pakaianya seumpamanya)).
Dari Abi Darda bahwa jika menceritakan hadist dari
Rasulullah saw kemudian selesai berkata: ya Allah sebenarnya tidak seperti ini,
maka dia mencatatnya
Dan jika Anas selesai dari mencerikatan hadis berkata; seperti yang disabdakan Rasulullah saw.
Menyerupakan sekitar pe riwayatan dengan makna
Hal ini
dilakukan oleh kebanyakan perawi dari mengambil keringkasan riwayat dengan makna
dan pekerjaan dengan di wajibkanya, agar tidak sunyi mengamalkan dengan jumlah hadis yang banyak, diketahui
terjaminya keshahihan, dan memenuhi persyaratanya pengutipanya dengan lafazd
kepada kesulitan para perawi atas kekeliruan yang mengalahkanya.
Dan sebagian orang barat datang merendahkan atas
keganjilan guru-guru orentalis dengan keinginan dan angan-angan,yang
mempengaruhi periwayatan hadits secara makna. Meraka menyangka bahwa (( jika
seorang rawi diperbolehkan mengganti
lafal Nabi dengan lafalnya sendiri maka yang demikian akan memutuskan jatuhnya
perkataan yang pertama; karena ungkapan secara makna yang tidak terlepas dari
keluputan, jika berturut-turut orang yang
keluputan itu adalah maka keluputan yang terakhir itu adalah keluputan yang jelek
sekiranya tidak tersisa macam kecocokan
antara perkataan terakhir dengan perkataan pertama..
Kecacatan ini yang dipercaya para sahabat akibat
pengaruh was-was dalam diri mereka,
dengan metode yang sangat salah dan lupa tentang syarat-syarat yang digunakan
oleh para ulama sekitar keshahihan hadis dan periwayatan secara makna, dan itulah
persyaratan-persyaratan yang menjadikan peneliti dalam mengunakan tindakan oleh
para muhadisin untuk memenuhi pemindahan dengan makna yang tidak luput
kemurniannya hadis, dan meletakan susunan dengan susunan yang lain dalam
maknanya sendiri.
Dan kami ringkas penjelasan tersebut dari
dua metode:
- Bahwa riwayat dengan makna tidak diperbolehkan kecuali orang ahli bahasa, tidak menguraikan makna dari jalan tersebut, dan ini dengan nisbah bagi kebanyakan sahabat, bertambah pemahaman yang pasih dan baik bahasanya serta kuat hafalanya, dan kebanyakan dari sebab-sebab yang kami sebutkan dari kesimpulanya, kemudian orang yang datang sebagian mereka menentang atas pemberitaanya, dan para ulama tidak menerima periwayatan yang yang tanpa memenuhi syarat.
- Memulai perawi dengan makna melakukan kesalah pahaman dalam memahami dan meriwayatkan hadis yang diteliti, apakah dihilangkan kesalahan dari para ulama? Ini tidak memungkinkan!! Maka bahwa mereka dmempersyaratkan dalam keshahihan dan kehasanan, tidak ada kesadzan dan kecacatannya, yaitu hadis yang tsikah tidak diterima sehingga dibanding dengan riwayat yang lain, dan ada kejelasan yang tidak berubah, selamat dari kejahatan yang ringan.
Kemudian
terjadilah atas
hadis satu kesimpulan yang
disampaikan antara rijal as sanad, dan tidak akan tersisa keraguan para perawi dengan hadis yakni
kemaudhuanya..
Yang kelima: Metode-metode para
muhadisin dalam menuulis hadits dan mendhobitanya:
Ini pembahasan memunculkan perhatian yang dimana para ahli hadis menyusun
hadis, dan menyalin kitab-kitab dan memberi baris, sehingga jadi contoh bagi
manusia, dan mempelajari metode-metode jadi penting bagi para pelajar hadis,
dan suka mengambil hadis dari tulisan tangan, atau mentahkiknya.
Adab-adab menyusun
hadis:
Yang terpenting ini masalah yang sampai
atas keshahihan naskah
yang di manfaatkan..
(1). Wajib bagi penulis memalingkan perhatian kepada
menulis hadis apa yang ditulis atau yang dihasilkan dengan kehati-hatian yang
tidak mereka riwayatkan atas jalan yang diriwayatkan, dalam bentuk titik yang dipakai.
(2). Memelihara tulisan Sholawat dalan
Salam kepada nabi
kemudian untuk menjauhkan dalam
menetapkan dalam masalah dua perkara:
- Memberi tanda dengan huruf seperti huruf ص atau صلعم dan lainya
- Memindahkan tulisan selain صلعم dan sebaliknya
(3). Wajib bagi
penuntut menghadapkan dengan yang asli, atau dengan naskah yang diriwayatkan
gurunya, sekalipun itu ijazah dan tidak dihalalkan bagi muslim yang bertaqwa
meriwayatkan selama tidak menghadap dengan gurunya., atau satu naskah yang ditahkik sesuai dengan aslinya, dan ini
berlindung sanad naskah yang bersambung
dengan pengarang, serta aman melampirkan yang ketinggalan.
Ungkapan para
penulis hadis
.Tanda-tanda yang menunjukan kedhobitan dan perbaikan dan
menghubungkan yang gugur dari naskah, tidak seorang pembaca harus tahu yang keliru, kami ringkas
yang penting dari apa yang akan datang:
- Mendhobit huruf yang bertitik: kebanyakan dari ulama mendhobit huruf yang bertitik dengan tanda yang menunjukan atas tidak diterjemahkan atrinya tidak diputuskan, dan berbeda pendapat dalam ungkapan mereka, adapun yang diwajibkan membangun yang jatuh dalam kesalahan, maka membalik, yakni menjadikan titik di atas dibawah apa yang menyerupai dari yang bertitik, maka diputuskan keputusan dibawah ع ط ص رdan seumpamanya dari yang bertitik seperti: ع ط ص ر
Orang-orang
yang menjadikan tanda yang ditinggalkan seperti karatan kuku berbaring
atas punggung seperti: س ر
Tanda-tanda
yang lain.
- Tempat yang dipisah antara dua hadis, atau antara setiap paragraf: yaitu tanda yang diletakan untuk memisah dan memilih antara salah satu dua hadis dan yang lain , dan dilebihkan oleh kalian bahwa berputar karena lupa , jika menerima naska hadis yang selesai di terimanya__atau semua keperluan_memutuskan dalam tempat yang mengikutinya dan mengikuti keputusanya, atau meneliti ditengah-tengah tempat yang diteliti.
- Ditakhrij: yaitu menetapkan sesuatu yang menjatuhkan kitab yang ketinggalan dalam menghimpunya, dan gambaran bahwa ditulis dari tempat jatuhnya dari menulis garis di atas, kemudian menginginkan antara dua tulisan dengan menulis yang benar tersebut; atau memulai dengan menulis kalam yang jatuh menghilangkan yang diterima karena meneliti yang hilang, kemudian mencatat di akhir kalimat yang shahih.
Dan wajib perhatian ini, bahwa agar para pembaca teliti antara yang jatuh dan yang dicatat
atas memperhatikannya atau menafsirkan atau memanfaatkan
dan selainya. Maka ini perbedaan
yang sangat penting.
- Dithashih; yaitu tulisan yang shahih atas perkataan , atau disisinya, dan jika perkaraan tersebut shahih secara riwayat dan makna dan sebagai tujuannya karena ragu-ragu atau berbeda pendapat, maka ditulis atasnya (shahih) untuk mengenal dan tidak lupa dari padanya, dan bahwa sungguh didhobit dan disahkan atas jalan tersebut.
- Ditadbib: dan dinamakan juga lemah, dijadikan atas perkataan yang sah dan didatangkan seperti yang demikian dari jalan yang dipindah selain lafazd atau makna yang rusak atau dhoi’f.
Bagian yg kedua Posisi nadist nabi di dalam islam
Tidak ada keragi'in Jagi atas sesecrang bahwasanya
dedudukan hadlst Nabi adalsh sangat penting di daiaro mendalamiajarsn agaroa
islam, dar, untuk mengetahui keadaan orsng islam yg benar-benar
islam. Dan A! Quran sendiri meniefaskan posisinya itu, bahwasanya keadaan
hadits mentafsirkan AI Quran, seperti firman Aiiah swt
( surah an nahl 44 ) yg artinya.
(sesunggul.nya kam turunkan kepada engkau akan Al Qur'an supaya
menjelaskan engkau bagi
manusia apa yg di turunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan
:::a.) dan
sangat ai suruh berpegang kepada hadis
naM sampai di sebutkan dl
dalam Al Qur'an,
bahwasanya hadits nabi
itu mentafsirkan bagi kitab Allah swt (Al Our*").
Suneeuh sudah di kens) bahw«»n«s haHitc nahi n?'-
yang ked'ja di dalam agama sesudah Al Qur'an, banyak tersebar paham yg keliru
terhadap ysng demlkian itu, dan saya kembali kepada hadis apabiia tidsk di
dapat di dalam A! Qur'an Itu daiii, sungguh kesalahan besar menolak dia akan
isi Al Qur'an, dan sungguh sudah di wlaskan bahwasanya hadits mentapsirkan Al
Quran da., .vajib kembali kepada had.ts bersama '-' Qur'an, agar terkum
asai dan tafsirnya, dan Ini makna perkataan: sunah adalah dasar yang kedua.
Dalil-dalil yg mewajiblan mengama! kan dgn hadits dan mengunakanya.
Banyak sekali melebihi kretria mutav.^'jr dengan nas-nas A! Qjr'an, n:eiebihi
dari nersyaratan mutawatir sunah dan ijam sahabat. Kami cukup disini dgn
menyebut sebagian ayat-ayat.' di antaranya:
Ayat
ini Mencoba iman seseorang yg mengaku Islam, tldak di anggap orang beriman dgn
allah kecuali dia wajib mengikuti rasuluallahjika tidak dia di bend karna
Allah.
Ini Argomen menunjukan wajib mengamal kan hadis nabi
ogn kesefuruhan, cirri khas kebanyakan dari Ai Qur'an mewajibkan mengamalkan
dgn hadits. Tldak mutawatir shalin dan hasan Berkata !:r.a fahrui islam abu
hasan Al Bajdawi di dalam kitabnya . di daiam Ini kitab Allah lebih banyak dari
pada apa yang kita kira, menjelaskan oieh al alammah Abduiazlz Al Bufchari,
sangat iuas tempat pengambilannya, dan di sini kami hanya sedikit memberikan
argomen-argomen. 'oili firman Allah swt.
Telah di katakan di dalam kitab muslim menetapkan dan
menjelaskan* maka sifat kehati-hatian adalah wajib, ayat yg mulai menunjukan
atas pentingnya kehati-hatian, dan mengambli kabar dari rombongan adalah Wujib,
dan rombongan dari tiap-tlap golongan itu tidak sampai batasan mutawatir,
bahkan menurut ibnu abas rombongan Itu bias mencakup perorangan atau jama'ah.
Dan firman Allah
Allah memerintahkan di dalam ayat ini untuk bertanya
kepada orangyg lebih rnen.^tahui dan tidak di bedakan di antara mujahid dan yg
bufcan muhajld, brtanya kepada mujahid dan hukan muhajid tertentu pada khabar
yg di dengar bukan patwa, jika tldak dapat khabar maka ha! keadaan orang
bertanya dan ditanya wajib mencari kabar.
Dan selain itu banyak sekali yg tidak di perpaniang
tentang khabar. bahwasanya perkataan yang terjadi adalah perkara iman dgn nabi
Muhammad saw sebagai seorang nabi dan rasul mustahii membenarkan dan beriman
detsgan nab: tetapi tidak di lihat untuk mengikuti sunah nya Dan yg demikian tersebut sebagaimana Sudah menjelaskan. oleh alquran dan perkuatnya dengan sangat kuat dan di
percaya, Berfirman Allah swt. Bersumpah yang demlkian tersebut dgn zatnya yg tinggi.
selain
yang demikian itu banyak sekali ayat-ayat dan hadis akan tetapi tidak kami perpanjang.
METODE-METODE PARA
SAHABAT DALAM MERIWAYATKAN HADITS
Para sahabat menempuh metode-metode
periwayatan dan kaidah-kaidah yang diperlukan di zaman mereka, yaitu zaman keadilan untuk menetapkan kebenaran
dari suatu kutipan, menghindari dari keraguan dan agar tidak tergelincir pada
kaidah-kaidah yang berbeda. (Semua itu
mereka lakukan) untuk dapat memenuhi tuntutan-tuntutan yang berkembang dari
masa kemasa hingga mencapai puncaknya.
A.
Metode-Metode-Periwayatan yang Terpenting Pada Masa Sahabat:
1. Penyedikitan periwayatan dari
Rasulullah Saw.
Hal ini dilakukan karena adanya
kekhawatiran bahwa banyak perawi hadits
yang mudah tergelincir karena salah atau lupa, yang pada gilirannya tanpa dasar
mereka akan menyerupakan dusta atas nama Rasulullah. Lebih-lebih lagi pada
waktu itu perhatian mereka sangat besar dalam menghafal al-Qur’ân dan tidak
ingin perhatian itu terganggu oleh urusan lain. Sehingga Abu Bakar dan Umar r.
a. sangat ketat dalam menerima suatu hadits. Manyoritas para sahabat menempuh
metode ini, sehingga masyhurlah dan menyebarluaslah hadits berikut, baik diriwayatkan secara marfū’ atau mauqūf.
كفى بالمرء كذبا ان
يحدث بكل ما سمع
Cukuplah seseorang berdusta dengan meriwayatkan
seluruh hadits yang ia dengar.
2. ketelitian dalam periwayatan ketika
menerima dan menyampaikannya.
al-Dzahabî menjelaskan tentang biografi Abū Bakar al-Shiddiq r. a. bahwa Abu Bakar adalah orang pertama yang
berhati-hati dalam menerima hadits. Ibn Syihab
meriwayatkan dari Qabīshah bin Dzuaib bahwa
ada seorang nenek-nenek datang kepada Abu Bakar untuk minta penjelasan
tentang hak warisnya. Beliau berkata, “Saya tidak dapatkan suatu keterangan apa
pun dari al-Qur’ân tentang hakmu dan saya tidak tahu apakah Rasulullah saw.
pernah menentukan hal semacam ini. Lalu Abu Bakar bertanya kepada para sahabat,
( setelah mendengar pertanyaan Abu Bakar), Mughirah pun berdiri seraya berkata, “Saya pernah
melihat Rasulullah memberi hak bagi nenek-nenek
sebesar 1/6. “Abu Bakar bertanya lagi, “ Adakah selain anda yang turut menyaksikannya?
”Muhammad bin Maslamah bersaksi hal yang sama. Lalu Abu Bakar pun menentukan
hak bagi nenek-nenek itu 1/6.
Ketika menjelaskan tentang biografi Umar bin Khaththab,
al-Dzahabî menyatakan, bahwa Umar adalah orang yang merintis ketelitian dalam
menerima hadits. Seringkali ia tawaqquf ( tidak menerima dan tidak
menolak) terhadap suatu hadits yang
hanya diriwayatkan oleh satu orang apabila ia ragu. Diriwayatkan oleh
al-Jurairiy, Sa’îd bin Iyâs bahwa Abu Musa pernah mengucapkan salam tiga kali
di depan pintu rumah Umar, namun ia ( Abu Musa) tidak mendapat jawaban (dari
Umar). Ia pun pulang. (melihat Abu Musa
pulang) Umar pun mengejarnya dan
bertanya kepadanya mengapa kamu pulang? Abu Musa menjawab: Saya pernah mendengar Rasulullah Saw.
bersabda:
اذا سلم احدكم ثلاثا فلم يجب فليرجع
Apabila salah seorang dari kamu memberi
salam sebanyak tiga kali, dan ia tidak mendapatkan jawaban, maka pulanglah.
Umar berkata, “Kamu harus mendatangkan saksi atau aku akan
menghajarmu. Kemudian Abu Musa datang kepada kami dengan wajah pucat, ketika itu kami sedang duduk. Kami bertanya,
“Apa yang terjadi?” lalu ia menceritakan peristiwa tersebut kepada kami seraya
berkata, “Adakah di antara kalian yang pernah mendengar hadits tersebut? ”Kami
menjawab, “Betul, kami semua pernah mendengarnya. ”Kemudian mereka mengutus
seseorang di antara mereka bersama Abu Musa
untuk menghadap Umar dan menceritakan hal itu.
وقال في ترجمة علي رضي الله عنه (( كان إماما عالما متحريا فى الأخذ , بحيث
إنه يستخلف من يحدثه بالحديث ... )).
Al-Dzahabî
menjelaskan tentang biografi Ali r. a. bahwa “ Ali adalah seorang imam
yang alim dan teliti dalam menerima hadits sehingga ia mengambil sumpah bagi
setiap orang yang meriwayatkan suatu
hadits kepadanya….”.
3. Kritik terhadap periwayatan.
Hal ini dilakukan dengan membandingkan
periwayatan-periwayatan tersebut dengan nash-nash dan qaidah-qaidah agama. Maka
jika ditemukan periwayatan tersebut bertentangan dengan salah satunya, maka
mereka menolaknya dan tidak mengamalkannya. Inilah (perilaku) khalifah Umar bin
Khaththab r.a seperti yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim.
Umar mendengar hadits dari Fatimah binti Qais yang telah
dicerai oleh suaminya dengan talak tiga. (Fatimah mengaku) bahwa Rasulullah
tidak pernah menetapkan baginya tempat
tinggal dan nafkah (selama ‘iddah). Umar berkata, “ Kami tidak akan mau
meniggalkan al-Qur’ân dan sunah nabi kami hanya karena pernyataan seorang
perempuan yang tidak kami tahu apakah ia ingat atau lupa bahwa ia berhak
mendapatkan tempat tinggal dan nafkah. Allah Swt. berfirman:
لايخرجوهن
من بيوتهن ولا يخرجون الا ان يأتين بفاخشة مبينة
Janganlah kamu keluarkan mereka (
istri-istri yang ditalak) dari rumah-rumah mereka dan janganlah mereka
diizinkan keluar kecuali jika mereka
mengerjakan perbuatan keji yang jelas.
Sepatutnya penyebutan perhatian itu adalah mereka yang
mengerjakan hal tersebut karena kewaspadaan
dalam menghafal dan mencatat hadits bukan karena tuduhan atau sangkaan
buruk semata. Oleh karenanya Umar r. a.
berkata: “Saya tidak menuduhmu, tetapi
saya senang menelitinya”). Seperti itu pula Umar menolak sebagian hadits
yang merupakan ijtihâd dari mereka. Karena menyalahi
dengan apa yang mereka istinbât dari al-Qur’ân. Oleh karena itulah
kami temukan sebagaian sahabat dan orang setelah mereka )para
tabi’in) melakukan penolakan terhadap
periwayatan yang dilakukan oleh orang lain, karena Ijtihâd mereka
tidak bertentangan untuk dijadikan argumen.
Halaman:
15-17
Dan
ini adalah jawaban dari segala penyebab kekeliruan dari bermacam-macam sebab
yamg banyak, kami sebutkan sebagai berikut:
1. Bahwasannya
Allah swt memerintahkan dengan menerima Hadits Nabi saw. Maka diwajibkan
kepadamu menerimanya untuk menyempurnakan periwayatan Hadits, tetapi janganlah
kamu menerima hadits tersebut kecuali hadits yang telah ditetapkan wahyu-Nya
Nabi saw.
2. Ungguh
mereka telah menerima Hadits dari sejumlah kitab hadits dan mempercayainya;
Maka sungguh mengetahui mereka dengan mengulang-ulangi ruku dengan cara sembahyang
yang telah datang dari Nabi saw.
Dan seperti itu juga
mengeluarkan zakat dan selainnya harus mencontoh Nabi, bersama sebagian perkara
ini tiada berakhir atasnya di dalam Al-Qur’an Al-Karim.
3. Sungguh
di berikan kepada kami akan pertolongan hukum-hukum akan beberapa hukum umum
yang menjatuhkan, setelah itu ia menyuruh dengan menyalahkannya dengan dalil
yang pantas, dan semuanya itu adalah kesepakatan dari para ulama.
Maka haram darah orang
Islam dari perkara yang menjatuhkan, yang ditetapkan dengan keyakinan di dalam
Al qur’an, Hadits, para Ulama, dan semuanya akan kami halalkan darahnya, apabila ia bersaksi akan dua kesaksian yang
adil, bahwa membunuh itu berarti menaruh kegelapan, maka akan kami hukum dengan
dibalas kesalahannya serta menyaksikan dua keadilan yang pantas.
4. Jika
mengandung kelemahan maka kelemahan itu menggugurkan dengan suatu pelarian
untuk meliputi dalam Hadits, maka para sahabat yang mulia, mereka telah
meliputi dalam periwayatan hadits dengan menetapkan dan mengurangi daripada
periwayatan, dan membantah beberapa hadits dan menelitinya untuk orang muslim
dari Alqur’an dan Hadits, meliputi para ulama terdahulu dengan aturan yang
benar, terpelihara di dalamnya syarat keadilan yang kuat, dan bersambung sanad
dan tiada menyalahi aturan yang tidak ada sebab.
Dan tidak mereka
tidak menerima Hadits yang tidak sempurna syarat keduanya yang ada riwayatnya
untuk memeluk agama atau yang diturunkan atau selain itu.
Keraguan di Masa Modern
Ada banyak
macamnya keraguan pada zaman dulu yang berpengaruh kepadanya dan dengki hati
dalam beragama. Maka datanglah zaman modern yang berpengaruh kepadanya dari
yang baru dan menyandarkan kepadanya
sesuatu yang telah datang bagi mereka yang lebih disukai dan orang yang sakit,
dan diri mereka yang tinggi derajatnya, adapun daripada bab yang menyimpang
dalam agama dan tujuan menjauhkan diri dari manusia.
Adapun yang
memberi kuasa kepada orang yang buta untuk mereka, maka ada sekumpulan orang
yang bercahaya dan orang yang beramal untuk menghitung cahaya. Dan perkumpulan
orang yang kedua yaitu kaum yang tidak menghasilkan dari pelajaran syari’at
yang kuat akan diri mereka, atau yang memahami dengannya akan aturan para ulama
hadits, maka member kuasa akan orang yang bercahaya akan kekuasaan yang buta di
dalam perkataan mereka yang tidak sah.
Sungguh jelas
golongan dari mereka yang menghitung atas Islam, rakus tehadap Al qur’an,
mereka menguraikan untuk diri mereka akan nama Al qur’an dengan mendakwakan
apabila mereka berbuat salah, atas kesalahan mereka terhadap Al qur’an, sungguh
Al qur’an lah yang yang menjadikan mereka itu, dan sungguh mereka orang-orang
yang pendusta.
Dan pantas bagi
mereka dengan sebutan bahwa derajat orang yang bercahaya itu, untuk berpaling
dari Islam dan mengangkat atasnya dengan kesalahan yang tidak terhenti, sungguh
sepakat Dr, Mustafa As-Siba’iy semoga member rahmat oleh Allah, dan mereka
banyak akan ini masalah dengan marah yang keras. Dan bersya’ir di samping ahli
waris dengan kegagalan, terus-menerus mereka rakus pada kebaikan, bodoh pada
agama Islam, dan dengki hati kepada orang Islam, dan rakus itu menjauhkan diri
dari agama mereka.
Halaman 19-20
Jawaban terhadap sesuatu yang ragu dapat diliahat dari beberapa
aspek dibawah ini:
1.
Bahwasanya
orang yang mengutip hadits tidak ditulis mereka menjelaskan kebenaran perkataan
itu, dengan bahwasanya yang demikian itu adalah takut kesamaran dengan
Al-Qur’an. Dan takut sibuknya manusia dengan hadits daripada Al-Qur’an. Maka
penafsiran tiada ditulisnya hadits dengan sesuatu apa yang mereka sebutkan itu
khayalan tidak benar.
2.
Bahwasanya
para sahabat lebih berhak untuk memahami kedudukan hadits dan sebab ketiadaan
penulisannya, maka sesungguh lebih bersengatan sesuatu yang adalah seseorang
menetapkan dengan hadits Nabawi, dan mengikuti dengan perkataannya dan
perbuatannya dan keadaannya Nabi saw, tidak bias mencapai pada yang demikian
itu dengan sesuatu, dan mengingkari lebih bersengatan oleh keingkaran atas
orang yang menyalahi sinnah Nabi saw yang manapun adalah ini menyalahi.
3.
Sesungguhnya
ini adalah menyatakan tentang sebab hadits tidak ditulis tadi yang hana pura
tidak tahu. Nabi saw mengizinkan dengan penulisan hadistnya, tetapi ia menyuruh
dengan sahabat, sebagaimana Nabi menyuruh Abdullah bin Umar untuk menulis semua
hadits yang ia dengar dari Umar, dan mereka bersungguh-sungguh mengamalkannya
akan Nabi saw oleh penulisan karena amalnya dan dn wilayahnya, dan mengirim
pembelajaran ilmu syariah kepada mereka dengan penulisan. Maka denga ketidak
adaan penulisan sesungguhnya adalah karena sebab-sebab yang selain sesuatu yang
berpaling mereka itu, dan yang demikian itu karena jarang penulisan, dan jarang
dalam keharusan. Maka Nabi saw menghadapkan akan kuatnya yang mutawatir bahwa
karena penulisan Al-Qur’an, kemudian mana kala berakhir maslahat pada penulisan
hadits yang didengar. Karena sahabatnya dan penulisannya, pada batasan-batasan
yang kita ketahui
4.
Pendapat
ini dibina terhadap perkara itu bahwa atas perkara ini sesunggunnya wajib untuk
diikuti. Apabila ada penulisan, dan ini tidak tetap pada agama yang terdahulu
dan tidak ada aturan yang menyertai dan tidak ada peraturan daripad peraturan
kehidupan.
5.
Sesungguhnya
mengutip pendapat yang kuat dihapal secara mendapati tidak sedikit daripada kurangnya
sesuatu yang ditulis, bahkan tidak jarang hapalan lebih unggul dripada tulisan.
Sementara orang-orang arab adalah umat yang umum dari sesuatu yang menjadikan mereka menyandarka pada hafalan, dan telah sampai dari hafalan
mereka kabar. Maka Abdullah bin Umar melewati daripada baqi maka ia ketakutan
mendengar lagu pada satu tempat yang tidak disekitarnya, maka ia menjaganya.
Dan ibnu Abbas mendengar qasidah yang panjang dan menghafalnnya dari
pendengaran sekali, dan meminta atas itu. Maka asing dan ia berkata lupa apa
yang ia dengar. Dan begitu pula dari
sebagian pembesar tabi’in dan sebagian iman-iman mendtangkan penulisan
hadits oleh karenanya mereka menghapalnya dan ad yang melupakannya.
Bahwasanya syarat-syarat yang ditetapkan oleh ulama untuk hapalan
mengandung pada kdhabian hadits dan sebagaimana membawa pada kesalahan pada
hapalan maka karena itu adanya penulisan sebuah hadits, ta’kala membutuhkan
dengan penulisan dan tidak pula memerlukan pada hafalan, oleh karena itu para
hali hadits dapat sebagaimana mereka menetapkan syarat-syarat pada kdhabitan
rawi. Dan meletakan sumber penulisan,
juga penemuan dari naskh dan sumbernya penetapannya dan menadatangkan pada
seorang guru untuk memindahkan dari tangan ketangan dengan melalui jalan sanad,
sampai terjadi naskh pada satu huruf pembahasannya, atau menjadikan dari
naskh itu salah dalam penulisan tanpa tujuan.
6.
Bukan
hujjah secara ma’surah pada penulisan sehingga dikatakan: seandainya kehujjahan
tidak terbatas itu yang dimaksud Nabi saw untuk perintah dengan penulisan
sunnah tersebut, maka bahwasanya hujjah
tersebut tetap dengan sesuatu yang banyak, diantarannya bersifat mutawatir,
pemindahan keadilan dapat dipercaya, dan penulisan juga behitu pula dengan
Al-Qur’an itu sendiri bellu ada yang mengupulkannya pada zaman saidina Abi Bakar
Shiddiq r.a pada penulisan maka hitungan belum berjalan denga penulisan
sehingga mutawatir hapalan sahabat setiap peninggalan daripada hapalah bekas
peninggalan sahabat tersebut.
Halaman 21-23
Keraguan yang kedua adalah: keraguan dalam
menyampaikan kritik kepada para ahli hadits:
Mereka menyangka bahwasanya para muhaddits
berusaha sangat keras dalam mengkritik para perawi dan sanad-sanadnya dengan
kritikan terhadap harakat, akan tetapi mereka tidak menyatakan kritikan
matan-matan sekalipun dalam matan tersebut terdapat kedhaifannya.
Hal ini menjadi kebohongan-kebohongan yang
paling terkenal dan menjadi paling laris di antara mereka, dan dari putra-putra
kaum burung nuri sebab kebohongan yang mereka ikuti. Kenyataannya hal tersebut sangat lemah dan
lebih lemah dari rumah laba-laba sekalipun jawaban-jawaban yang mencelanya
banyak juga, memadai pandangan dalam syarah-syarah sunnah dan menguji syarah
terhadap lafadz-lafadz para perawi menjadi petunjuk hal yang demikian, akan
tetapi di sini kami sepakat bahwa pembaca atas suatu hukum yang penting yang
kami merasa cukup dengannya untuk membatalkan sangkaan tersebut, yang demikian
tersebut juga menjadi syarat-syarat keshahihan suatu hadits, yaitu keadillan
para perawi, kedhabitan mereka, bersambungnya sanad, tidak syadz dan juga tidak
cacat.
Sedangkan yang menjadi syarat-syarat
detailnya adalah: Terjamin keselamatan nukilan setiap perawi terhadap suatu
hadits, terjaga keselamatannya ketika menukilnya di antara para perawi,
terealisasi keselamatan nukilan dari celaan-celaan yang ringan dengan tanpa
syadz dan cacat (‘illah) setelah terealisasi keselamatannya dari celaan-celaan
yang tampak dengan persyaratan-persyaratan adil, dhabith dan sanad yang
bersambung.
Dan syarat-syarat yang komplit di samping
hadits secara sanad sebagaimana yang telah dijelaskan dan matan karena keadilan
terikat dengan kritikan matan-matan yang dinukil dari seorang perawi dan juga
kedhabitan. Ketiadaan syadz dan cacat
menjadi keharusan di dalamnya pada keselamatan matan dari syadz dan cacat
karena bahwasanya syadz dan ‘illah (cacat) terdapat di dalam sanad dan juga di
dalam matan. Kalau begitu syarat-syarat
shahih dan Hasan sendiri membatalkan sangkaan ini dan menjelaskan bahwasnya kritikan pada matan sama dengan
kritikan terhadap sanad, bahkan jika shahihnya sanad sendiri sesuai pada
sebagian syarat-syarat terhadap matan seperti halnya sifat kedhabitan.
Sungguh telah kami kehendaki pembatalan
kebohongan-kebohongan tersebut atas Minhaj al-Muhadditsin dengan cara ‘amaliah,
sekira-kira yang telah kami kemukakan pada Minhaj ini dalam bentuk teratur lagi
sempurna yang mengetahui akan khabar dan celaan pada tiap-tiapnya di samping
pembahasan pada hadits dalam sanad dan matannya pada kitab kami (Minhaj
an-Naqdi fi ‘ulumil hadits). Kembalilah
kepada kitab tersebut, maka akan kita temukan puncak kemanfaatan dengan
mengetahui ilmu ini, dan menghilangkan kegelapan kejahilan serta kedengkian
dari fakta-faktanya yang kokoh.
FASHAL KETIGA
Para Sahabat Dan Hadits Nabawiy
Para sahabat Nabi r.a adalah duta-duta yang
menyampaikan dari Rasulullah Saw, Rasulullah yang memilih mereka, mereka
menyampaikan dari Rasulullah dan beliau mewakilakan kepada mereka, hal tersebut
menyenangkan meraka karena di dalam hati-hati dan wajah-wajah mereka terdapat
cahaya dan akhlak mereka yang baik
sehingga mereka diserupakan dengan para Nabi dan mereka mendapati dalam diri
para sahabat sifat-sifat pengikut Nabi Isa a.s.
oleh karena itu, para ulama modern mengawasi bahwasanya Islamnya suatu
kaum lebih dekat dari masa sahabat atau mereka beriman atas kuasa sahabat
adalah lebih kuat dan lebih suci dari orang yang telat beriman karena sebab
rohani dan cahaya keimanan mereka hilang.
Para sahabat r.a menyampaikan apa yang
diperintahkan oleh Rasulullah dengan sebaik-baik penyampaian dan adalah praktek
mereka dalam hal perkataan, perbuatan dan keadaan mereka lebih utama dari
penjelasan mereka dengan menyebutkan hadits Nabi Saw.
Penyampaian para sahabat tidak berbentuk nukilan
langsung, oleh karena mereka takut dalam penyampaian ini akan mengandung
kesalahan tsiqqah dalam hal penukilan karena sesengguhnya mereka adil dalam
periwayatan. Dan dengan alasan tersebut,
para sahabat menganjurkan ummat agar mengikuti jalan (minhaj) yang selamat
dalam meriwayatkan, mengoreksi dan mengkritik.
METODE
PARA SAHABAT DALAM MEMERANGI HADIS MAUDHU’
Halaman: 30-32
Telah
tampak masa fitnah yang membawa
terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan karena beliau dizhalimi kemudian terbunuh juga Imam Husin
ra, dan tampak juga kecenderungan antar golongan yang membawa kepada
perpecahan. Selain itu, tersebar juga para ahli bid’ah yang membahas sanad dari
nash-nash hadis. Mereka membuat suatu hadis padahal Rasulullah saw
dan para sahabatnya tidak pernah
melakukan perbuatan tersebut, mereka sengaja mengada-ngada.
Maka sejak itulah awal dari munculnya hadis maudhu’. Dan para sahabat
menganjurkan agar memelihara hadis dan bersungguh-sungguh dalam mengikuti
hukum-hukum yang menjadi pembahasan dan pemeriksaan akan kesahihan suatu hadis.
Dan ini diantara ciri-cirinya:
1. Mengutamakan pembahasan sanad pada
hadis dan memeriksa keadaan perawi-perawinya setelah menyeleksi ketsiqahan atas
suatu hadis. Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab muqaddimah sahihnya dan Imam
Turmudzi meriwayatkan dalam kitab al-Jami’nya dari Muhammad bin Sirin
bahwasanya dia berkata: “ tidak mempertanyakan tentang sanad hadis saat terjadi
fitnah, mereka berkata bagi kami nama-nama perawinya, sehingga apabila mereka
memandang kepada ahlussunnah waljama’ah maka merekapun mengambil hadisnya namun
apabila mereka memandang kepada ahli bid’ah maka merekapun menolak hadisnya.
2. Ulama dari kalangan
sahabat menganjurkan agar berhati-hati dalam mengambil hadis dari seorang
perawi dan mengambilnya kecuali perawinya itu kuat agamanya, kewara’annya,
hafalannya dan kedhabitannya, sehingga tersiarlah pengetahuan tentang kaidah
ini “sesungguhnya hadis-hadis ini adalah agama maka perhatikan dan ambillah
hadis tersebut”. Kemudian muncullah ilmu timbangan perawi yakni ilmu jarh wa
ta’dil yang ilmu tersebut merupakan tiang ushul hadis. Dalam ilmu tersebut dibicarakan
tentang kualitas para perawi hadis dari
kalangan sahabat seperti Abdullah bin Abbas, Ubadah bin Shamat, Anas bin Malik namun pembicaraan mengenai mereka ini masih singkat kemudian dari kalangan tabi’in seperti Said bin
Musayyab (w. 93 H), Amir Syu’bi (w. 104 H) dan Ibnu Sirin (w. 110).
3. Perjalanan
mereka dalam mencari hadis, walaupun jauh mereka tetap rela melakukannya karena
mereka ingin mendengar langsung dari perawi pertama sehingga hadis tersebut
benar-benar terjaga kesahihannya. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Ayyub Al-Ansari dari ‘Uqbah bin Amir bahwasanya dia berkata: Rasulullah saw
bersabda: barang siapa yang menutup aib orang mukmin di dunia ini maka Allah
pun akan menutup aibnya di hari kiamat nanti”. Setelah mengambil hadis dari
Uqbah tersebut maka beliaupun pulang. Para sahabat menganjurkan agar dalam
mencari dan menetapkan suatu hadis itu haruslah mengikuti kaidah sahabat yang
pernah melakukan rihlah, sebagaimana diriwayatkan oleh Khatib dengan sanadnya
bahwasanya Said bin Musayyab berkata:” saya melakukan perjalanan beberapa hari
dan beberapa malam hanya mencari satu hadis”. Dan selanjutnya para ulama
mengikuti langkah beliau demi kepentingan untuk memperoleh suatu hadis.
MANAHIJUL MUHADDITSIN
TUGAS TERJEMAH
Halaman 40-43
3.
Muru’ah Para Ahli Hadist
Yang dimaksud dengan muru’ah
ialah tidak mengajarkan hadits bila ia tidak memiliki kemampuan atau tidak ahli
dalam hal hadits, meski ia berusia muda atau tua.
Dan dhabith itu seperti apa
yang diutarakan oleh Ibnu Sholah: “Sesungguhnya ketika Ia dibutuhkan yerhadap
apa yang dimiliki pada dirinya, maka ia boleh membagikannya, pada usia berapaun
ia”
4.
Silakan berhentu bila
khawatir akan bercampur/mukhtalit/pikun
Bila khawatir tercampur maka
berhenti mengajar meski dalam usia di bawah 80 tahun tetapi sudah
mengalami kepikunan/mukhtalit.
5.
Mengutamakan orang tua atau
orang yang berilmu dari dirinya
Dan ini adalah akhlak sempurna
dari para ulama; mendahulukan atas orang-orang yang lebih dulu dari mereka
karena tuanya umur mereka, atau orang yang memiliki ilmu mendalam.
6.
“Tuuqiiru al-Hadist wa atta-hibu lilmajlisu al-Tahdiistu”
Dan berhadir di majelis harus
keadaan suci dan berpakaian. Dan orang yang mengajarkan hadits menggunakan
sarana dan bahasa yang umum agar membantu untuk memahami dan mudah memahami
penjelasannya.
7.
Kesibukan dalam karangan dan
penarikan kesimpulan oleh ulama
Terpenuhinya bagi orang-orang
yang seperti para ahli tersebut; Hajar dan As’aa berkata: “Apa yang ditinggalkan
oleh orang-orang terdahulu untuk orang-orang yang belakangan”
Yang ketiga: bagaimana
cara muhadditsin menerima hadits dengan
benar
Mereka mengungkapkannya dengan “cara-cara
menerima hadits”. Ini alamat bahwa ia sezaman. Periwayatannya yang tepat dan
jalan periwayatannya yang detail, menjelaskan syarat-syarat sah dari
periwayatan tersebut, asalnya mengungkapkan darinya dengan perkataan: “Para
ahli periwayatan” dan menjelaskan jalan
pertemuan akan hadist yang diterima dan selainnya. Menjelaskan itu pada apa
yang akan datang dengan i’jaz yang sangat.
Betul-betul memahami apa-apa yang disampaikan kepadanya
Sebenarnya rukun dari periwayatan tersebut
adalah tamyiz/mumayyiz, yang berakal, yang menukil apa yang didengarnya, dan
mendhabithnya (memperbaiki) apa yang disampaikannya. Untuk memudahkan batasnya
adalah paling sedikit 5 tahun, sebagai cabangnya sah mendengar hadits tersebut
meski ia dalam keadaan kafir atau fasik. Namun saat ia mengungkapkan hadits
tersebut ia sudah dalam keadaan Islam bagi orang yang kafir dan fasik, sah bagi
orang yang membicarakan hadits tersebut sedang ia sudah dalam keadaan baligh.
Syarat-Syarat Periwayatan
Diterimanya hadits dariseseorang dari
gurunya, perhatiannya serius atau tidak merusak periwayatannya karena ia sibuk
dengan dirinya sendiri. Seperti ia menulis sesuatu yang bukan hadits pada suatu
majelis atau ia berbicara hal lain atau ia berada jauh tidak mendengar suara
gurunya.
Cara-Cara Pertemuan Ahli Hadist
Ulama mengambil jalan penyampaian hadist
dan pertemuan dengan para rawidengan delapan cara, yaitu:
1. Mendengar
Secara
sengaja medengarkan apa yang disampaikan gurunya atau as-sima’ atau imla. Baik
dengan membacakan apa yang ia hapal atau apa yang dia tulis dalam kitabnya.
Semua itu di sisi para muhadditsin dianggap paling tinggi cara pertemuan
menurut jumhur muhadditsin
2. Membacakan dihadapan
Guru
Yaitu
membaca di hadapan guru dari hafalan bacaannya, atau dari kitab yang dpunyainya
dan cara yang benar dari pertemuan ahli hadist, dan periwayatannya dengan
‘ijma. Adakah berbeda seperti mendengar dengan orang di bawahnya atau di
atsanya dan kemungkinan bersepakat kata pada apa yang diucapkan oleh si murid
mampu mengetahui salah membaca atau hafalannya pada puncak hafalannya, jika
tidak seperti itu mendemgar lebih utama.
3. Ijazah
Dan para
muhadditsin meriwayatkan hadist atau kitab atau selain dari itu yang didengarnya,
yang dibacanya, apa yang dikatanya: “ku ijazahkan kepadamu atau ku ijazahkan untukmu
Shahih Bukhari, atau kitab Shahih Muslim. Maka periwayatannya wajib seperti itu
selain dari itu didengarnya tau dibacanya.
Ijazah
riwayat menurut jumhur ulama, dari para ahli hadist selain mereka. Para
pengarang mendapat bidang ini pada istidlal boleh mengijazahkan, tetapi kami
jelskan berikut:
Sebenarnya para ulama
berpegang akan ijazah sesudah apa yang selain dari muhadditisin dan banyak
kitab di suhuf dan kumpulan karangan, kami menukil karangan itu dan suhuf
tentang penukilnya dengan sanad yang dipercayaselesai dengan bacaannya yang
dinasikh oleh pengarangnya atau “muqaabiltuhaa
binaskhitihi”, “fashbihu” dari
kesulitan oleh ulama setiap datang dari murid yang dibaca olehnya kitab, dan
idiijazahkannya.
Maka ijazah
padanya menghabarkan kepada jalan baiknya kitab ini atau kitab padanya dari
riwayatnya. Turunnya kedudukan mengkhabarkan denga setiap kitab pandangan akan
nasakh , tidak boleh orang yang membawa ijazah kecuali setelah dikoreksi naskahnya
akan naskah gurunya atau akan naskah shahih berlawanan dengan naskah guru, atau
selainnya apa yang dinasakh dan dikoreksi akan kenasakhan yang berlawanan
pengkoreksiannya.
Satu
tingkat ijazah yang tinggi adalah baik guru dan murid mengetahui kitab-kitab
dengan baik. Maksudnya baik guru atau murid tahu betul/hapal dengan baik isi
kitab yang mereka bacakan. Dan ini bagian yang mencerminkan makna khabar yang
kami jelaskan secara sempurna.
4. Seorang guru
memberikan satu kitab/lembaran yang berisi hadits untuk diriwayatkan
Arti “Al-Munaawalah” disisi para ahli hadist
adalah memberi seorang guru kepada murid kitabnya atau lembaran-lembaran yang
diriwayatkan kepadanya. Berasal dari kitab Nabi SAW. untuk para pemimpin yang tidak ikut berperang
seperti yang telah disebutkan.
“Al-Munaawalah” terbagi pada tiga yaitu:
Bagian
pertama: “Al-Munaawalah” yaitu
naskahnya disertai dengan ijazah/izin periwayatan. Dan ini jenis ijazah yang
paling tinggi secara mutlak.
Bagian
kedua: “Al-Munaawalah” tapi tidak
disertakan dengan naskahnya, hanya ijazah atau izinnya saja.
Bagian
ketiga: “Al-Munaawalah” pemberian
naskah hadits tanpa disertakan pemberian ijazah atau izin meriwayatkan.
Contohnya
macam “Al-Munaawalah” ini: “Al-Munaawalah” kitab, dan meringkas akan
perkataannya: “riwayatkanlah hadits ini dariku, atau seperti itu”. Tidak dengan
perkataan: “aku meriwayatkan” atau “aku bolehkan engkau meriwayatkannya dari
ku” atau selain dari itu.
Dan
“Al-Munaawalah” ini tidak boleh meriwayatkannya/membagikannya darinya dari
kebanyakan para muhadditsin. Dan sebagian pergi ke bagian periwayatan darinya
dan akan datang bagian I’lam setelah ini, insya Allah.
Halaman: 44 – 47
5. Al-Mukatabah
(Penulisan)
Al-Mukatabah yaitu seorang
guru menulis sebagian haditsnya untuk seorang murid, lalu ia mengirimkannya
kepadanya. Dan Al-mukatabah ini memiliki dua bagian:
Pertama
: Al-mukatabah yang disertai dengan Ijazah.
Yaitu dalam
keshahihan dan kekuatan yang sama dengan munawalah yang disertai dengan ijazah.
Kedua : Al-mukatabah yang
tidak disertai dengan ijazah. Pendapat yang shahih lagi masyhur yaitu
memperbolehkan meriwayatkan darinya. Dan ada juga yang melarang
meriwayatkannya. Dan pendapat yang memperbolehkan ini yang dipilih oleh ulama
salaf (orang-orang terdahulu) dan orang-orang setelahnya.
6. Al-I’lam
(pemberitahuan)
Al-I’lam yaitu seorang guru
memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini merupakan
riwayatnya yang telah didengarnya (diambilnya) dari seseorang. Tanpa meizinkan
periwayatan darinya, atau perkataan lain, misalnya arwahu a’nni. Atau
meizinkan periwayatannya. Atau semacamnya.
Sebagian ulama ushul perpendapat,
salah satunya Ibnu Shalah tidak memperbolehkan meriwayatkannya karena di
dalamnya terdapat kecacatan yang menolak periwayatannya.
Dan sebagian besar ahli hadits, fuqaha dan ushuliyyin,
memperbolehkan meriwayatkan apa yang diterima tentang pemberitahuan yang tidak
mengandung ijazah..
Dan kesimpulan ini, menerima dengan ijazah
itu benar karena di dalamnya memberitahukan secara global. Dan pemberitahuan
itu dalam satu arti, tetapi ia lebih kuat, jika telah diisyaratkan pada suatu
kitab dengan penjelasannya. Dengan ungkapan: hadza sama’i min pulan (aku
mendengar ini dari seseorang).
7. Al-Wasiah
(wasiat)
Al-Wasiat yaitu seorang guru
berwasiat sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya
diberikan kepada seseorang untuk meriwayatkan darinya. maka jika wasiat itu
berupa naskah memiliki manfaat, maka yaitu seperti menjual, dan yang lain
menyuruh tidak akan memberitahukan kandungannya.
8. Al-
Wijadah (penemuan)
Al-Wijadah yaitu seseorang
mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seseorang dengan sanad-sanadnya, maka
periwayatannya melalui cerita seperti ungkapan: “Aku mendapatkan tulisan ini
dari si pulan…..” haddatsana pulan…..dan bisa juga dengan
ungkapan “qala pulan…” apabila terdapat tadlis antara periwayat dimungkinkan terjadi
pertemuan.
Adapun lambang periwayatannya dengan
haddatsana atau akhbarana atau yang menunjukkan bersambungnya
sanad maka tidak tertolak, dan tidak mengetahui orang itu digolongkan ahli
dalam masalah itu, dan tidak menganggap hadits itu disandarkan kepada seseorang
(musnad), yaitu sanadnya bersambung, namun wajib mengamalkannya dilihat dari
kebenaran karya-karyanya dan kebenaran naskah tersebut.
Keempat,
Metode Para Ahli Hadits dalam Menyampaikan Hadits dan Syaratnya
Al-adaaul
hadits yaitu seorang guru yang menyampaikan dan bertemu langsung dengan
muridnya melalui bentuk dari beberapa bentuk periwayatan.
Dan
bentuk-bentuk al-adaau yang sesuai bagi tahammul yang
dipelajarinya terdahulu, maka membenarkan bagi orang yang menerima hadits
dengan beberapa macam tahammul untuk meriwayatkan bagian ini, dan tidak
mensyaratkan adanya al-adaau pada bagian ini dari beberapa bagian tahammul
yang menemukan haditsnya, namun wajib ada keterangan dalam periwayatan yang
sesuai dengan jalan tahammul hadits yang diriwayatkannya.
Jumhur
ulama memperlihatkan untuk mengetahui bagian ini dengan beberapa cabang dasar
ia mengembalikan kecenderungan adaaul hadits, maka kami membatasinya:
Kecenderungan
Adaaul Hadits
Yaitu
meriwayatkan dan menyampaikan hadits dengan bentuk dari beberapa bentuk
penyampaian dengan bentuk yang menunjukkan cara tahammul.
Dan
adapun orang yang memelihara riwayatnya atau kitabnya, dan terkadang muhadditsun
meletakkan al-adaau pada keduanya dan mereka tidak harus meriwayatkan
atau memberitahukan kecuali dengan tahqiq yang benar, maka apabila
perbedaan ini atau ragu-ragu tidak harus baginya hadits tersebut: jika semua
orang berkumpul dan tidak akan memberitahukannya
kecuali yang benar.
Syarat
Al-adaau:
Yaitu
syaratnya berakal, balig, islam, adil dan dhabith.
Adapun
cara tentang al-adaau ini terdapat beberapa pendapat: satu kelompok yang
menguatkan periwayatan ini. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Shalah, maka mereka
melampaui batas, dan yang lainnya mempermudah, maka yang melampaui batas dan
pendapat yang kuat, orang yang berkata: tidak berhujjah kecuali meriwayatkan
periwayatan orang yang menghapal dan mengingatnya, dan itu diriwayatkan dari
Malik dan Abi Hanifah radhiyallahu anhuma.
Jumhur
ulama sepakat, yaitu pertengahan diantara al-ifrath dan tafrith,
maka jika orang yang meriwayatkan mengambil tahammul dengan syarat telah
disebutkan terdahulu, dan menerima kitabnya, dan lemah pendengarannya atas
keterangan yang disebutkan terdahulu, boleh baginya periwayatan daripadanya dan
jika terdapat cacat dan hilang daripadanya dan kebiasaan dari perkaranya yang
selamat dari mengganti dan berubah, tidak apa jika adalah dari orang yang tidak
takut atasnya pada kebiasaan, jikalau selain sesuatu daripada menggantinya,
merubahnya dan menggantinya.
Dan
muhadditsun yang cermat dalam menerangkan metode yang disampaikan pada
haditsnya dengan cara tepat, teliti pada mengumpulkan dasar-dasar haditsnya.
A. Metode Ungkapan Tentang Cara Tahammul
Memakai
lafadz dari lafazh-lafazh al-adaau yang pantas dan sesuai dengan sifat
lafazh yang mengandung sifat lafazh orang yang meriwayatkan hadits yang
diriwayatkannya, yang akan kami terangkan di bawah ini.
1. Ungkapan yang Mnagandung Sima’i
Di
dalamnya terdapat lafazh-lafazh al-adaau seperti, haddatsana,
akhbarana, khabarana, anbaana, a’n, qala, hukiya, dan jika seseorang berkata.
Maka bahwasanya mengandung atas faedah sima’ dari ahli hadits,
sebagaimana yang diterangkan oleh qadhi dan yang lainnya, namun
mereka cenderung memakai faedah sima’ karna takut tercampur dengan ijazah
dan semisalnya.
2. Ungkapan
yang Mengandung I’radh
Ungkapan yang benar pada
ungkapan tersebut yaitu, “Aku membaca atas pulan”, atau “dibacakan
atas pulan dan aku mendengarkannya” kemudian ungkapan: “haddasana pulan
qiraatu alaihi”, dan semisalnya. Dan juga dengan ungkapan “haddasana dan
akhbarana”.
3. Ungkapan
yang Mengandung Ijazah dan Munawalah
Ulama mutaakhhirun mengistilahkan
dengan ungkapan “anbaana” pada ijazah, dan kedudukan lafazh ini
dengan “akhbarana” maka jika mengatakan “anbaaba ijazatu aw
munawalah” maka itu lebih baik, daripada ungkapan kebanyakan dari ulama mutaqaddimin
dan mutaakhhirin perkataan (ungkapan) mereka akhbarana pulan idhna”.
Manahijul
Muhaddisin
Pada hakikatnya pembahasan sahabat dan metode mereka pada hadis
dibutuhkan pembelajaran yang sangat panjang, buku yang ringkas ini tidak cukup,
karena itu tidak cukup ini sebagai petunjuk. Dan kami dahulukan ringkasan pada
pembelajaran ini dengan dua masalah, sungguh yang akan kami jelaskan adalah
Masalah keadilan Sahabat dan Metode Hadis para sahabat.
Keadilan sahabat r.a.
Sahabat-sahabat yang mulia r.a. mereka itu adil dan diterima
periwayatan mereka, karena sifat-sifat sahabat yang mulia dan atas kesepakatan
ulama dari kalangan ahlu as-sunnah wa al-jamaah.
Dan sungguh itu telah ditetapkan ulama dengan nash-nash dari Al-Kitab,
As-Sunnah, peninggalan sahabat yang meliputi atas dalil akal kemudian dalil yang mejatuhkan kesungguhan mereka... dan
riwayat mereka yang tetap:
Adapun dalil Al-Qur’an : pandangan
ahlu as-sunnah bahwasanya keadilan sahabat yang tetap itu dimaklumi karena Allah swt memberikan sifat adil kepada
mereka, dan berita tentang kesucian mereka dan iktiar mereka terdapat dalam nash
al-qur’an, firman Allah : (kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan
untuk manusia)[Ali-Imran/110], firman Allah: (Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan
agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu)[al-baqarah/143]
Lafal ini sekalipun umum namun tetap yang diambil maknanya yang khusus yang
terbatas pada sahabat diantara mereka. Firman Allah: (Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon) [al-Fath: 18]. Firman Allah:
(Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.
Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya,
tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman
itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman
itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati
orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin))[al-Fath : 29]
Adapun as-Sunnah : sesungguhnya memberi keterangan atas
peristiwa yang terjadi dari hadis. (sebaik-baik manusia yang sezaman dengan
ku, kemudian setelah mereka (sahabat), Kemudian setelah mereka (Tabi’in)). Hadis mutawatir ini diriwayatkan oleh
sebagian besar dari sahabat. Demikian juga setelah mereka, seperti apa yang
dijelaskan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani.
Abi Said al-Khudri r.a berkata : Rasulullah saw
bersabda : (janganlah mencela sahabat-sahabatku sekalipun seorang diantara
kalian menginfakkan satu gunung uhud emas atau tidak sampai setengahnya)
Dan selain dari hadis mereka.
Imam Al-Hafiz Abu Bakar al-Khatib berkata: (dan
kabar pada makna ini luas, dan semuanya setuju sebelum mengambil di nash
al-qur’an, dan semua itu menetapkan kesucian para sahabat, dan memutuskan
tentang keadilan mereka dan kesucian mereka, maka tidak ada satu alasan ketika
Allah yang menampakan tersembunyinya keadilan mereka terhadap keadilan seorang dari makhluknya, maka atas
sifat mereka ini terhadap keberanian seorang yang memperbuat apa tidak boleh
kecuali menyengaja bermaksiat dan keluar dari pintu Takwil, pada hukumnya gugur
keadilannya, dan sungguh Allah berlepas dari itu, dan mengangkat ketentuan mereka atasnya).
Dan adapun dalil akal dan atsar : Al-Khatib berkata :
Atas mereka
sesungguhnya kalau belum dikembalikan kepada Allah azza wajalla dan Rasulnya
pada sesuatu dari apa-apa yang mereka sebutkan bagi suatu hal yang menjadi
kewajiban berhijrah, jihad, dan pertolongan, dan mengorbankan harta, dan membunuh
ayah dan anak, menasihati pada agama dan kekuatan iman dan yakin yang betul
atas keadilan mereka, dan i’tiqad suci mereka, dan sungguh mereka lebih utama
dari semua orang-orang yang adil dan cerdas yang datang setelah mereka selama-lamanya. Inilah mazhab
semua ulama dan dari mengikuti perkataan para fuqaha.
Kemudian mengikuti perkataan Abi Zur’ah al-Razi : apabila
aku melihat seorang mengkhususkan salah seorang dari sahabat rasul saw. sesungguhnya kafir
jindik, sesungguhnya rasul saw. disisi kami
itu benar, dan al-Qur’an itu benar, dan sesungguhnya menyampaikan kepada
kita al-Qur’an dan as-sunnah ini sahabat rasul saw. dan sesungguhnya mereka
ingin bahwasanya kritik mereka kita saksikan karena menjadi pahlawan al-Kitab
dan as-sunnah, dan kritik mereka menunjukkan mereka pura-pura beriman.
Pasal ke-5
Metode Umum Yang Dipakai Oleh Ulama Hadits Pada
Karangannya
Yang
dimaksud penjelasan macam-macam karangan dan metode yang tersusun akan
hadits-hadits pada kitab-kitab hadits nabi, dan bagaimana mentakhrij
hadits.
Macam ulama
hadits dan pengarang hadits, dan bercabang mereka pada (hadits) untuk
menjadikan karangan mereka dengan macamnya. Ini jawaban oleh tuntutan yang
timbul kepada para ulama dan penelitian pada pembahasan terdahulu.
Dan macam-macam
karangan yang penting seperti yang di bawah ini:
-
Kitab-kitab karangan atas tema atau judulnya.
Dicetak pada
kitab-kitab terdaulu secara mutlak (oleh pengarang) atas (kitab). Dan metode
karangan ini: bahwa terkumpul hadits-hadits yang mempunyai judul atau tema yang
umum salah satunya pada sebagiannya. Di bawah macam-macam ini umumnya
menghimpun, contoh (kitab shalat), (kitab zakat), (kitab jual beli). Kemudian
dibagi hadits-hadits atas bab-bab, terkumpul tiap bab hadits atau hadits-hadits
pada masalah bagiannya.
Dan diletakkan
bagi bab ini macam-macam yang menunjukkan atas judul, contoh (bab miftahul
shalat ath-thuhur) dan dinamakan ulama hadits semacam (terjamah).
Faedah-faedah
macam ini dari kitab-kitab memudahkan kembali padanya, ketika permulaan sesuatu
bersegera untuk penuntut pencari ilmu dan pembahasan, bahkan kembali kepadanya.
Demikian itu
bahwa jika ia menginginkan pengkajian atas hadits-hadits pada masalah yang
ditentukan, maka sesungguhnya tema-tema hadits ini penting atas (kitab) kembali
pada bab-bab.
Jika ia
menginginkan pembahasan dari hadits pendapatnya untuk mengeluarkan atau mentakhrij
(hadits) dari sumber-sumber sunnah, maka judul atau tema-tema hadits
terbatas bagi bab yang dibahas pada hadits-hadits yang dicari.
Akan tetapi,
faedah-faedah dari kitab-kitab ini yang berupa tema hadits dan berupa bab akan
perasaan pada pkerjaan ku, memnberikan petunjuk akan tuntutan pada membatasi
tema hadits dan pada pengalaman dengan sistematika imam-imam pada
menterjemahkan kitab-kitab mereka, maka sesungguhnya mereka kadang-kadang
mengeluarkan hadits pada selain bab yang gugur atau jatuh. Yang dimaksud mereka
dari yang demikian itu penjelasan dalil-dalil hadits atas masalah yang lain
secara detail.
Kebanyakan pada shahihi
imam Al-Bukhari, sehingga kembali dan kekhususan kitabnya dan dikenal
dengan perkataan mereka (pemahaman Al-Bukhari pada biografinya).
Dan bagi karangan
atas bab-bab metode yang banyak akan disebutkan diantaranya akan datang.
A.
Al-Jawami’
Orang yang
menghimpun atau mengumpulkan hadits, pada istilah disebut muhadditsin
(ulama hadits), yaitu kitab hadits yang tersusun atas bab-bab yang dimaksud
pada hadits-hadits pada mengumpulkan tema atau judul-judul agama dan babnya.
Dan delapan bilangan bab yag pokok yaitu: aturan-aturan, hukum, riwayat hidup,
adab, tafsir, fitnah, tanda-tanda kiamat dan biografi.
Kitab-kitab jawami’
itu banyak yang dikenal diantaranya tiga yaitu:
1. Kumpulan hadits-hadits shahih
oleh imam Al-Bukhari.
2. Kumpulan hadits-hadits shahih
oleh imam Muslim.
3. Kumpulan hadits-hadits
imam At-Turmudzi, yang dkenal (sunan At-Turmudzi) dinamakan sunan
dengan perhatiannya dengan hadits-hadits hukum.
B.
Sunan
Kitab-kitab sunan
yaitu kitab-kitab yang mengimpun hadits-hadits hukum yang dikenal dengan
sistematika atas bab-bab fiqih. Dan pada kitan sunan kebanyakan juga
dikenal dengan kitab-kitab yang empat yaitu: Sunan Abi Daud, Sunan At-Turmudzi,
dan Jami’ At-Turmudzi sebagaimana telah disebutkan, Sunan An-Nasai’,
dan Sunan Ibnu Majah.
Dan mutlak atas
ini sunan: (sunan yang
empat dan simbol bagi (sunan) yang 4. Dan apabila dikatakan: (3) maka
tujuan mereka ini selain pada sunan Ibnu Majah. Apabila dikatakan (4)
maka tujuan mereka ini sunan yang 4 dan musnad Ahmad. Dan apabila
dikatakan (6) maka tujuan mereka ini 2 yang shahih dan sunan yang 4.
Dan memberi simbol
baginya pada kitab-kitab takhrij dan kitab rijal (perawi) dengan
ini simbol.
ﺥ, oleh Imam Al-Bukhari, ﻢ, oleh Imam Muslim, ﺪ, oleh Abi
Daud, ﺖ,
At-Turmidzi, ﺱ, oleh Imam An-Nasai’, ﻫ, oleh Ibnu Majah, ﻉ, oleh yang 6, ﻋﻪ, bagi sunan
yang 4.
Dan kitab-kitab sunan
yang dikenal (sunan) oleh imam Abi Hasan Ali bin Umar Ad-Darqutni, dan (sunan)
Al-kubra oleh Abi Husain Ahmad Al-Baihaqi.
C. Al-Musnifat
Yaitu kitab-kitab yang sistematikanya atas bab-bab,
akan tetapi mengandung atas hadits mauquf.
XXXX( LUPA HALAMAN BERAPA INI)XXXX
Dan semuanya itu menunjukkan dalil-dalil yang jelas yang
menyebutkan tentang keadilan sahabat, para ulama memperkuat pada pembahasan
masalah yang penting ini.
Dan disini kita cenderung untuk mencari dalil-dalil mereka,
hal ini dinyatakan dengan dalil yang
terjadi pada masa periwayatan sahabat sebagaimana menunjukan sebuah cara yang
ditempuh dalam pembahasan yang umum tentang mencari pengetahuan yang meyakinkan.
Hal itu pada metodologi pembahasan dan ilmu mantiq diberi nama (istiqra’
at-tam atau metode induktif)
Al-allamah al-muhaddis ‘Abd ar-Rahman seorang ulama Yaman
berkata: (sesungguhnya imam-imam hadis berpegang pada orang yang tidak
diragukan keadilannya dari sahabat, mereka benar menceritakan apa yang
disapaikan Nabi Saw., atau begitu juga sahabat yang lain dan di dalam kitab dan
sunnah, dan begitu pula riwayat dari selain mereka, serta dicermati keadaan dan
bentuk mereka, Maka mereka tidak menemukan secara susah payah (jika terdapat
berlainan). bahkan mereka menemukan secara umum apa yang diriwayatkannya
sehingga sahabat yang lain meriwayatkannya, seperti orang yang tidak berjumpa
dengannya, atau yang telah ditemukan dalam agama sesuatu makna atau sesuatu
yang dinyatakan atasnya.)
Bersandar kepada demikian apa yang telah aku temukan, maka
aku menyatakan bahwa orang yang memberikan pencacatan bacaan terhadap karangan
biografi perawi dan para periwayat yang dhaif yang disebutkan dalam kitab
adh-dhuafa. Maka sesungguhnya dia belum menemukan hadis yang cukup dihukumi
cacat dalam hal ini yang dimulai dari seorang sahabat tentang gambarannya
Dan adapun sesuatu telah membuat ragu adalah bekas politik
kekhalifahan yang tumbuh diantara sahabat (semoga allah meridhai mereka) tentang
periwayatan, maka sesungguhnya kebenaran itu tetap, jangan kamu palsukan
mereka, karena sesungguhnya pada masa terdahulu tersebut ada terlihat sedikit
kesamaran, telah menyusahkanku sehingga aku berbeda ijtihad seperti yang telah kami jelaskan, dan
seperti yang telah dimuat pada pembahasan-pembahasan yang panjang al-muhaqqiqun
(orang-orang yang benar), dan dituturkannya tidaklah berlawanan permasalahan
diantara mereka dan itu tidak memberi bekas pada periwayatan sesuatu tersebut,
maka dari ini periwayatan hadis dari khalifah ‘Ali ra. Tidak ditemukan sesuatu
perbedaan padanya dari sahabat yang lainnya pada segi kepalsuan, akan tetapi
padanya sesuatu yang menguatkan kewauqufan hadis pada perbedaan mereka dengan
imam Ali ra secara langsung atau pun tidak langsung.
Dan kami menyebutkan ketsiqahan adalah tujuan yang penting,
sungguh disiapkan dari tidak mungkin ragu dengan segala sisi, dan seorang alim dari
ulama besar syiah zaidiyah melalui jalan
pengetahuan penengah kepalsuan, yaitu jalan yang pertama yang mengalahkan semua
bantahan dan dia menyatukan perpecahan
dengan kesesuaiannya, sehingga jikalau semua golongan menjaga pandangannya
(doktrin), maka kamu akan mengikuti hadis-hadis muawiyah dan amr bin ash dan
mughirah bin syu’bah, mereka itu kebanyakan disoroti orang-orang selain mereka,
dan diantaranya juga meriwayatkan hadis-hadis yang bagus bahwasanya mereka
tidak meriwayatkannya sendirian, dan ditetapkan pengikutan ini dengan ijazah
pada kitabya yang lurus (raudh al-basim) sehingga berpegang pada demikian
tersebut dan bahkan berhujjah kepadanya pula imam-imam dari syiah zaydiyah bahkan
mereka sampai mengatur ijtihad yaitu muhammad bin ismail pada kitabnya yang
bagus (tawdhih al-afkar)
Telah cukup memadai dalil aqli yang menyebutkan tentang
keadilan sahabat dan kepercayaan mereka terhadap hadis Nabi Saw.
halaman 60-63
MUSTADRAK
Kitab Mustadrak kitab hadis yang tidak dimuat dalam
kitab-kitab hadis sebelumnya disebutkan pengarangnya terhadap kitab tertentu
dari kitab-kitab as-Sunnah, yang tidak termuat dalam riwayat bukhari dan muslim.
Yakni para periwayat yang ada dalam kitab itu. Salah satu kitab Mustadrak yang
terkenal adalah Mustadrak ‘Ala al-Sahihaini al-hakim Abi Abdullah Muhammad
al-Naisaburi (321-404 H).hingga kitabnya lebih mudah dikenali.
MUSTAKHRAJAT
Kitab hadits yang mengumpulkan hadis. Hadis –hadis dari
satu kitab yang telah ada lalu dikaji sanadnya secara tersendiri, tetapi juga
sanad itu bertemu ditengah sanad dengan kitab aslinya atau bertemu pada periwayat awal (gurunya) diatas
dari gurunya atau meriwayatkan kwalitas
lafadz sanad matan yang telah disebutkan
dalam hadis.
Manfaat metode ini ialah : memperbanyak sanad,
sebagaimana manfaat dari kitab mustadrak yang mempunyai banyak matan. Dan
manfaat Mustakhrajat banyak menolak pada
pengecekan pengkritikan atas sanad yang
shahih, misalnya seorang Mudallas mendengar langsung, dan menjelaskan hadis
yang mubham, dan disamping itu masih banyak kegunaan yang lain.
KITAB-KITAB YANG
DISUSUN BERDASARKAN NAMA SAHABAT
Kitab-kitab yang menghimpun yang diriwayatkan oleh
sahabat dalam suatu tempat berdasarkan nama sahabat yang mempunyai arti penting dalam pengkajian hadis.
Metode ini bermanfaat untuk mengetahui jumlah banyaknya
periwayat (dari sahabat) dari Nabi SAWdan cirri-cirinya,dan mempermudah dalam
pengujian, salah satu kelebihan dari metode ini yang sangat bermanfaat dalm mengeluarkan
hadis, untuk mengetahui sahabat yang
meriwayatkannya, dan apa-apa yang dapat mempermudah dalam belajar, sekalipun ada
kesulitan dalam memelihara Mentakhrij hadis sahabat yang banyak mengeluarkan
hadis, misalnya: Jabir bin Abdullah, Abi hurairah, dan Aisyah R.a.
Dan pada masa modern macam-macam
kitab mufahras yang disusun pada kitab-kitab Musnad.
MUSNAD
Kitab Musnad
adalah kitab hadis yang disusun
berdasarkan urutan nama sahabat. Urutan yang diatur secara alfabetis, usia,
berdasarkan lebih dahulu orangnya masuk islam, atau dapat juga dengan kemuliaan
keluhuran nasabnya.
Kitab musnad banyak sekali, adapun yang terkenal adalah
kitab Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal, kemudian Musnad Abi Ya’la maushili, dan
keduanya mengikuti standar Musnad
tersebut mengikuti Mu’Jam al-Kabir at-Tabrani, bahwasanya berdasarkan susunan
nama-nama sahabat secara al-fabetis,
akan tetapi kenyataannya disusun
berdasarkan huruf Mu’jam.
ATRAF
Kitab Atraf adalah bagian yang menunjukkan atas hadis
atau keterangan yang menunjukkan keterangan bahwa mengambil hadisnya diujung,
misalnya hadis tentang niat, hadis al-khazin amin, dan hadis pertanyaan Jibril.
Kitab-kitab Atraf kitab yang diterangkan oleh para
penulis hadis mereka meringkas dengan menggunakan ujung hadis dan kemudian diterangkan sanad-sanadnya dalam sumber-sumber
yang meriwayatkan sanad-sanadnya, dan
sebagian diterangkan sanadnya sempurna dan sebagian datanya tidak lengkap.
Akan tetapi sebagian mereka tidak lazim menyebutkan ujung
hadisnya tidak disebutkan tapi juga
bagian diawal hadis, bahkan tidak seharusnya disebutkan lafadz hadis dari teks
hadis secara harfiah dan tidak juga pada awal hadis tetapi bisa bergabung
sewaktu-waktu.
KITAB ATRAF MEMPUNYAI SEJUMLAH KEGUNAAN LAIN, DIANTARANYA:
1.
Dapat
mempermudah dan mengetahui sanad-sanad hadis oleh karena sanad-sanad tersebut
tergabung dalam tema yang satu.
2.
Dapat mengetahui
keluarnya hadis dari sahabat dari sumber yang asli dan bab yang digunakan yaitu berbagai macam kitab mufahras dan
faidahnya.
Diantara
kitab atraf yang terkenal adalah :
1. Tuhfat al-asyraf
bi Ma’rifah al-atraf karya al-Hafidz al-Imam Abu al-Hajjaj Yusuf Ibn
Abdurrahman al-Mizzi (w.742 H ). Kitab ini
mengakomodir hadis-hadis yang terdapat dalam kutubussittah, dan sebagian lampiran
yang berhubungan dengan yang berinduk kepadanya:
1. Muqaddimah
Shahih muslim
2. Al-Marasilu li abi
Daud as-Sijistani
3. Al-I’lalu Li-Tirmidzi
4. As-Syama’il Li-Tirmidzi
5. Amala yaumi wa lailatyiy an-Nasa’I (amalan sehari
semalam Imam An-Nasa’I ).
Dan
memberi tanda untuk setiap kitab ini, dan setiap dari kutubussittah memberi tanda
khusus, atau memperjelas pada muqaddimah kitabnya. Pada pendekatan ini memberi
tanda terdahulu dengan menambah dan menghubungkannya.
Dan kitab susunan terjemah sahabat berdasarkan susunan
abjad misalnya, Alif, ba, yang demikian itu terjadi pada awal musnad ; Abyad
bin Hamal dan sangat mudah faedahnya, untuk menghantarkan pengeditan dari
penjelasan, mudah kembali pada masdarnya. Masih ada beberapa kitab atraf
lainnya seperti Dzakhair al-Mawaris fi Dilalat’al – hadis karya Syekh Abd
Ghani al-Nabilisi (w. 1143 H ).
Kumpulan Atraf kutubussittah dan
Muwatta’ atas penyusunan metode penyusunan Tuhfat Asyraf seolah-olah keringkasan
tukhfat, akan tetapi mempunyai
keistimewaan nilai-nilai artistik pada pengarangnya,Pada terjemah nama-nama
sahabat , pembagian kitab ini membagi 7 bab, dan kitab ini diterbitkan dalam 4 juz, atas perhatian pengeluaran dari ketetapan kesaksian pokok pada tema hadis dari daftar
pokok yang daripadanya itu yang dulu keluar, perlu diulang kembali.
MU’JAM
Kitab Mu’jam adalah
terminologi Muhadditsin adalah kitab yang disusun berdasarkan urutan guru-guru
penulisnya, atau berdasarkan nama daerah asalnya itu disususun berdasarkan
huruf abjad sehingga mudah ditelusuri mu’jam dengan hadis yang diriwayatkan
oleh Syekh Abban kemudian Ibrahim dan sebagainya.Dan diantara kitab-kitab
Mu’jam yang terkenal : ada 3 kitab mu’jamnya yang terkenal yang dikarang oleh
seorang tokoh ternama yang melahirkan sejumlah karya berupa kitab mu’jam yaitu
Abi Qasim Ibn Ahmad tabrani, yaitu:
1. Al-Mu’jam al-kabir
2. Al-Mu’jam al-awsat
3. Al-Mu’jam al-Shagir
Sesuai dengan namanya, ketiga kitab
mu’jamnya ini tidaklah sama secara kwantitas sesuai dengan susunan nama-nama
guru-gurunya, tidak boleh tidak, pastilah sudah harus mengetahui guru pengarang
yang merawikan hadis dari metode pokok hadis.Dengan demikian itu tampak, untuk
itu mereka sangat membutuhkan dengan kitab Az-Zawaid yang terdahulu dan sangat
membutuhkan dengan kitab hadis Mufahras Al-Mu’jam al-Kabir : Musnad-musnad
sahabat, yang disusun berdasarkan huruf Mu’jam.
Al-Mu’jam al-Kabir adalah kitab yang paling besar
dan lengkap isinya, serta tersebar luas hingga saat ini.
Halaman 64-68
Keempat:
kitab-kitab yang tersusun atas huruf-huruf mu’jam (kamus):
Yakni kitab yang tersusun atas huruf-huruf mu’jam
(kamus) dengan menghitung di awal kalimat hadits, dimulai dengan huruf hamzah,
kemudian huruf ba dan seterusnya.
Metode ini juga meliputi sumber rujukan, akan
tetapi tidak menggantinya dari pengenalan hadits yang pertama dengan lafadznya,
pengenalan yang luas dan tidak terkecuali pembahasan dari hadits tersebut.
Karangan yang mempunyai 2 cara terdahulu:
- kitab Mujaami’ yaitu mengumpulkan kitab-kitab hadits yang berbilang dan menyebutkan pada suatu macam yang akan datang.
- Kitab hadits-hadits yang Masyhur, yaitu kitab hadits yang memuat sunnah umur, maksudnya adalah memuat hadits-hadits yang terkenal, yang dijadikan para ulama sebagai kitab khusus.
Dari pembagian hadits yang terkenal ini ada 2
macam kitab, yaitu:
- Tujuan dari pada kebaikan hadits-hadits terkenal atas yang sunnah oleh imam Hafidz Syamsuddin Muhammad bin Abdurrahman as-Sakhawi (tahun 902 H). Kebanyakannya yaitu kumpulan kitab-kitab dari faedah-faedah yang terkenal atas sunnah, bukan pada yang lainnya, dan mengumpulkan bilangan hadits-hadits/1356/hadits. Dari pada pengarang dengan pelajaran penjagaan hadits-hadits. Maka datangnya faedah-faedah bukan pada selainnya, bersama detail yang cukup pada pembahasan keadaan hadits-hadits, dari pada kitab Musthalahah ini perkataannya pada hadits (tidak mengenal) baginya sanad tidak dari kitab hadits dan tidak mengetahui perkatannya. Memunculkan suatu kesalahan yang terhenti, bahwa asal baginya tidak terhenti, dan dua perumpamaan hadits palsu.
- Adapun dari hadits-hadits yang terkenal atas sunnah manusia, alamat hadits: Isma’il bin Muhammad Ajaluni (tahun 1162 H). Mengumpulkan kitab hadits as-Sakhawi dengan meringkas perkataannya dan menambah hadits-hadits yang banyak juga sehingga lebih dari /3250/hadits. Sebagaimana menambah manfaat pada kebenaran hadits-hadits dan kitab ini memakai kitab besar pada pelajaran dan kumpulan banyak hadits-hadits oleh para ulama yang terkenal atas sunnah
- Mafatiihu wa fahaaaris ‘ala awwali al-Hadits: Dengan macam ini menghubungkan oleh pengarang yang menghantarkan para salafiy dari pembuka kitab hadits atau halaman yang menghubungkan dari kitab dengan kitab ini yang mereka ciptakan atas awal jumlah hadits dan tingkatan atas susunan huruf mu’jam.
Dan pembukaan yang
terdahulu ini adalah dua orang saleh, kemudian dari halamannya adalah halaman
Shahih Muslim dan halaman Ibnu Majah, pengarangnya Muhammad Fuad Abdul Baqi,
semoga Allah Swt mengasih sayanginya dan memberikan balasan dan pahala kepada
beliau. Dan selain demikian itu dari
halaman tampak banyak pada selainnya sehingga sedikit dari kitab-kitab hadits
asli tidak menaruhnya halaman akan tetapi beberapa halaman. Mudah-mudahan Allah Swt memberikan balasan
dan pahala kepada pengarangnya.
Mafatiih yang paling besar adalah (mausuu’atu
athraafi al-Hadits an-Nabawiy) pengarang dua sunan Zagluul. Halaman yang terdapat di dalamnya lima puluh
kitab lebih, dituliskan kembali secara luas.
Akan tetapi bukan muhkan yang terbatas bahkan banyak yang tertinggal
sebagaimana yang ditunjukkan latihan dan ujian.
Semoga Allah Swt memudahkan muraja’ahnya dan pencariannya.
Kelima:
pengarang-pengarang al-Jaami’ah (al-Mujaami’):
yaitu kumpulan kitab-kitab hadits dari beberapa kitab sumber hadits dan susunan
atas jalan riwayat:
Metode pertama:
Judul karangan, yang terpenting kita merujuk pada sumber rujukannya
adalah:
I-
(( jaami’ul Ushul min ahaadits ar-Rasul)): Ibnu Atsir bin al-Mubarak bin Muhammad
al-Jazari (tahun 660 H). Kumpulan dua
hadits shahih (Bukhari Muslim) dan Muwattha’, dan tiga sunan,
semata-mata dari sanadnya dan mendatangkan perkataan lafadz yang asing. Akan tetapi lupa menjelaskan derajat hadits
sunan. Sehingga karenanya tidak
disebutkan perkataan dari hadits-hadits at-Turmudzi, di samping ada kelemahan
para pembaca dalam membahas ini: di sini
ada kesulitan untuk mentahkrij hadits terperinci bagi hadits-hadits yang lemah
karena tiap-tiap hadits kitab besarnya penjelasan bab dan bagian lembaran-lembaran
faedah hadits untuk memudahkan tersebut lebih banyak.
II-
(( kanzul ma’ali fi sunan al-aqwal wa al-af’al))
seorang guru muhaddits ‘Ali bin Hisam al-Muttaqil al-Hindi (tahun 975 H), yaitu
‘Ali bin Hisam menghimpun pelajaran pada sebuah kitab ini, menghimpun hadits
pada sebuah kitab yang banyak sampai 93 kitab yang dikarangnya. Tiada perumpamaan baginya pada pembahasannya
melainkan bahwa terlupakan untuk penjelasan keadaan hadits. Kelemahan pada mentahkrij sehingga
kadang-kadang lemahnya hadits merujuk dari rujukan yang jauh dan dari
pencapaian yang diperpegangi, yaitu adanya pada kitab shahih bahkan pada
keshahihannya.
Metod kedua:
susunan hadits-hadits sekira tertib huruf mu’jam dan yang menjadi
rujukan terpentingnya adalah:
I-
((al-Jami’ al-Kabir)) atau ((Jam’ul Jawaami’)) yang dikarang oleh imam Hafidz Jalaluddin
as-Suyuthi’ (tahun 911 H) yang merupakan pembendaharaan asal kitab dengan
memperkenalkan Jami’ul Kabir. Dan
mengikut dengan nama ((Jami’ul ahaadits)) dan disandarkan kepadanya
untuk memakai maknanya, memuat kembali dakhman haafilan pada 13 jilid besar
tetapi ingin diterbitkan pada urutannya dan diikuti pembaca yang waspada pada
sisi rujukannya.
II- ((al-Jami as-Saghir li ahaadits al-basyir
an-nadzir)) oleh imam
as-Suyuthi’ juga, kitab al-jami’ul kabir, ketetapan membuang dan menambahnya
dalam penyampaian bilangan-bilangan hadits (10031) hadits dan sesungguhnya
mencapai ketika ulama banyak mengarahkannya.
Akan tetapi bagian rumus di sini berbeda
pendapat pada kitab jami’ul kabir, maka simbol ق pada al-jami’ as-saghir mungkin
sependapat dua syeikh dan pada al-jami’ al-kabir mungkin dikeluarkan
oleh Baihaqi. Akan tetapi awal
kepentingan penuntut hadits mempelajari pelajaran terdahulu, tiap-tiap
pengarang hadits untuk mengetahui simbol kitab dan metodenya seta tujuannya.
Keenam: Musannafat
az-Zawaaid:
Yaitu pengarang mengumpulkan hadits-hadits dari
tambahan di bagian kitab hadits atas hadits yang lain, selain hadits yang
tercampur di antara yang terhimpun. Dan
kebanyakan karangan tambahan dari para ulama dan susunan derajat atas tema yang
disebutkan di antaranya:
I-
((Majma’ az-Zawaaid wa Manaba’il Fawaaid)) oleh imam Hafidz Nur ad-din ‘Ali bin
Abi Bakar al-Hisyamiy (tahun 807 H).
Kumpulan atas kitab-kitab yang
enam sebagai kumpulan pertambahan atas kutub as-sitah sebagai rujukan yang
terpenting, yaiu musnad Ahmad, musnad Abi Ya’la al-Mushalli dan musnad Abi
Dzarr seta tiga mu’jam at-tabrani. Dan
dengan penjelasan keadaan hadits-hadits shahih dan dhaif, bersambung dan
terputus, dan memberi faedah dengan memperhatikan musthalahah seperti perkataan
“para perawi yang dipercaya”, tiada tercampur pada pada sesuatu yang terputus
dari ‘illah, sebagaimana cetakan kitab ini menghasilkan kepada tahqiq
(edit) dan mencatat yang banyak.
Halaman:
68-71
2.
Al-Mathalib al-'Aliyah bizawaid
al-Masanid al-Tsamaniyah, karya al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalaniy
al-Syafi'i, al-Imam al-'alam (w. 852 H).
Dikumpulkan di dalamnya
tambahan-tambahan atas kitab al-sittah dari delapan musnad: Musnad Abu Daud
al-Thayalisi, al-Humaidi, Ibn Abi Umar, Musaddad, Ahmad bin Mani', Abu Bakar
bin Abu Syaibah, 'Abdun bin Humaid, dan al-Harits bin Abi Usamah.
Tidak dikategorikan ziyadah seperti
Musnad Abu Ya'la, Musnad Ishaq bin Rahuwiyyah.
Kitab ini telah ditahqiq (di prbaiki/ di
edit) dengan teliti oleh al-Muhaddits al-Syaikh Habiburrahman al-'Azhami
rahimahullahu 'anhu dan berhati-hati dalam menetapkannya. Akan tetapi ia
berpegang kepada tulisan asalnya dari sanad-sanad, dan kami berjanji mengulanginya
atas naskah aslinya, dan tidak tersembunyi kepentingan dan faedahnya. Allah menyediakan
kepada siapa yang menunaikan hajatnya.
3. Ittahafu Sadati al-Muhirrah al-Khirah
Bizawaid al-Masanid al-'Asyirah" tulisan al-Bushairiy , dia Abu al-'Abbas Ahmad
bin Muhammad (w. 840).
Di dalamnya terkumpul tambahan-tambahan
dari kitab yang enam, dari sepuluh, yaitu: Musnad Abu Daud al-Thayalisiy,
Musnad al-Humaidy, Musnad Musaddad bin Musrahad, Musnad Muhammad bin Yahya
al-'Adni, Musnad Ishaq bin Rahuwiyyah, Musnad Abu Bakar bin Abi Syaibah, Musnad
Ahmad bin Mani' al-Baghawi, Musnad Abdun bin Humaid, Musnad a-Haris bin Abi
Usamah, dan Musnad Abu Ya'la al-Muwashshaliy.
Ketujuh:
Kitabut Takhrij (mencari sebuah hadis-hadis dalam kitab-kitab hadis).
Adalah kitab-kitab yang disusun untuk
mencari hadis-hadis pada kitab yang berbeda. Kita mengetahui kepentingannya
sebagai berikut:
1. Nashbul Rayati liahadits al-hidayah: ditulis oleh
al-Imam al-Hafiz Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al-Zayla'I al-Hanafiy
(w. 762H). dia mentakhrij hadis-hadis yang ada dalam kitab al-Hidayah fil
Fiqhil Hanafiy yang dikarang oleh Ali ibn Abu Bakar al-Margaynani, salah
seorang ulama fikih hanafi (w. 593H).
Adalah kitab
yang menghimpun riwayat-riwayat yang banyak dalam faedah-faedah terbaru,
membicarakan tiap hadis dari kitab al-Hidayah, kemudian menyertakan
riwayat-riwayat dan hadis-hadis lain untuk menguatkan, kemudian menyimpulkan
sebuah bahasan untuk hadis-hadis yang menunjukkan perlawanan dengan mazhab
Hanafi. Membicarakan keseluruhan batas yang baik dan berfaedah,
kebenaran, dan kepalsuan. Hal ini yang menunjukkan kedalaman ilmu al-Zuylai'iy
dalam ilmu hadis dan kedalaman pandangannya, sampai setiap orang yang
sesudahnya merasa cukup dengan kebenaran itu.
2. Al-Mughni
'an Hamli al-Asfar fil Asfar fi Takhrij Ma fi al-Ihya minal Akhbar. Tulisan
al-Hafizh al-Kabir al-Imam Abdurrahim bin al-Husaini al-Iraqiy (w.806) Syekh
al-Hafizh ibn Hajar dan mukharrijnya, satu zaman dalam bidang ilmu hadis.
Ditakhrij dalam kitab itu hadis-hadis
yang termuat dalam kitab penting yang tersebar di kalangan umat Islam, dia
adalah kitab Ihya Ulumid Din, karya al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali (w.505 H). untuk itu disebutkan di setiap akhir hadis-hadis dalam
Ihya, kemudian menjelaskan orang yang meriwayatkannya terakhir (mukharrij),
sahabat yang meriwayatkannya, dan mengomentari tentang kualitas hadis itu
sahih, hasan atau daif.
Kitab itu dicetak beserta kitab al-Ihya
yang terletak di tepi halamannya. Adalah ringkasan dari takhrij yang besar dan
luar yang dikarang untuk hadis-hadis al-Ihya, tidak membekas, dan ia
meletakkannya al-Zubaydi dalam syarah al-Ihya takhrij yang besar.
3. Al-Takhlish
al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi'i al-Kabir, karya al-Hafizh Ahmad bin Ali
bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H).
Mentakhrij di dalam kitab itu
hadis-hadis dalam Syarah al-Kabir karya al-Rafi'i yang merupakan penjelasan
dari Kitab al-Wajiz dalam fikih Imam Syafi'i yang ditulis oleh imam al-Ghazali.
Ada beberapa
kitab takhrij yang ditulis sebelumnya berkaitan dengan takhrij hadis-hadis
dalam al-Syarah al-kabir, tidak jauh berbeda dengan kitab Nashbul Rayah karya
al-Zaila'iy. Manfaat kehadiran kitab adalah menghimpun sesuatu yang berserakan,
tidak mempelajari hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum.
Kedelapan:
al-Ajza (juz-juz atau bagian-bagian).
Al-Juz'u fi Ishthilahil Muhadditsin:
karya tulis yang mengumpulkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh satu orang,
baik dari generasi sahabat, atau yang sesudahnya, seperti Juz Abu Bakar, Juz
Hadis Malik.
Di antara tulisan berbentuk Juz yang
mempelajari sanad-sanad hadis gharib (hadis yang diriwayatkan oleh satu orang),
seperti: Ikhtiyarul Uwla fi Hadits Ikhtisham al-Mala' al-'Ala karya al-Hafizh ibnu Rajab.
Sedangkan bagian-bagian yang terbaru dibuat
pada sebagian kitab al-maudhu'at seperti al-Qiraah di belakang al-Imam
al-Bukhari, dan perjalanan mencari hadis bagi al-Khathib al-Baghdadiy.
Kesembilan:
al-Masyikhat
Kitab-kitab yang dikumpulkan oleh
muhadditsun nama-nama guru mereka, kitab-kitab dan hadis-hadis yang mereka jumpai
beserta sanadnya sampai kepada penulis kitab-kitab yang mereka jumpai. Di
dalamnya ada berbagai macam cara penyusunannya, di antaranya dalam bentuk fahras
dan tsabat, yang terkenal adalah “al-Irad li nubdzatil mustafad
minar ruwati wal asanid” dan “fahras al-Imam Abu Bakar Muhammad bin Khair”.
Keduanya merupakan karya yang berharga, dan telah dicetak, selain dari itu
masih banyak.
Kesepuluh:
al-‘Ilal (catat)
Dikelompokkan kitab ‘ilal merupakan
puncak dari pekerjaan para muhaddits, keperluan itu merupakan upaya keras dan
kesabaran yang panjang dalam hal pelacakan sanad, kehati-hatian dalam
mempertimbangkan, dan mengulanginya untuk mengambil kesimpulan perkara yang
tersembunyi, yang menutupi bentuk zahir melemahkan untuk kesahihannya.
Kitab-kitab al-‘Ilal yang terkenal untuk
pengetahuan ini ada tiga yang telah dicetak, segala puji bagi Allah, yaitu:
1. Al-‘Ilal
al-Kabir, karya Imam Muhammad bin Isa al-Tirmidzi (w. 279 H), disusun
berdasarkan bab oleh Abu Thalib al-Qadhiy.
2. Al-‘Ilal
karya Ibnu Abu Khatim al-Razi (w. 325 H), disusun berdasarkan tema, akan tetapi
kitab ini memerlukan tahqiq.
3. Al-‘Ilal
al-Waridah fi al-Ahadits al-Nabawiyyah, karya al-Imam al-Darulquthni ‘Ali bin
Umar (w. 385 H), disusun berdasarkan sanad.
Halaman 72-74
حادي عشر :معاجم ألفاظ
الاًحاديث:
Kitab
modern yang dikarang menggunakan metode Mu’jam
.
Tetapi
yang معاجم آلفاظ الاًحادث
mencakup seluruh lafaz hadis
tidak terbatas pada lafaz yang gharibnya saja. Di dalamnya disebutkan
kalimat yang menunjukkan keberadaannya dalam sebuah kitab atau kitab-kitabnya yang memuat hadis
tersebut.
Yang memulai mengarang kitab ini adalah orientalis pada pertengahan abad
20, dengan bantuan
tersebarnya buku –buku yang sudah dicetak yang sebelumnya tidak memungkinkan untuk itu.
Kegiatan serupa terus berlanjut setelah
itu, karangan terpenting
dalam hal ini yang kita
tahu adalah sebagai berikut :
المعجم المفهرس لاًلفاظا لحدث
النبوي:
Yang
dikarang oleh sekolompok oreintales yang dipimpin oleh A.J Wensicnk yang mencakup lafaz
yang penting dalam hadis yang terdapat dikitab yang enam Al-Muwatta,
sunan Al-darimi, Musnad Ahmad bin
Hanbal.
Sistematika Penulisan Kitab ini adalah sebagai
berikut :
1.Seperti metode mu’jam
dan mudah mengetahui keberadaan
hadis dengan cara mengetahui sebagian kata.
2.Mencakup kitab yang banyak
yang termasuk dalam sumber-
sumber hadis.
3.Mudah dijadikan rujukan
karena adanya penjelasan
rumus dibagian bawah tiap halaman.
4.Memudahkan mengetahui
keberadaan hadis bagi orang—orang yang
tidak punya pengalaman tentang kitab hadis . Inilah kelebihan kitab ini .
-
Keterbatasan
Metode ini adalah :
1. Karna kitab itu tebal, seorang pembaca susah mencari
kalimat yang dicari kecuali dengan
membuka lembar perlembar .
2. Ketiadaan kalimat –kalimat yang penting
sampai-sampai seorang yang
pencari hadis setelah lebih dari 10 kata tidak
menemukannya, mungkin saja hadis yang dicari sudah
disepakati (Imam Bukhari dan Imam Muslim )
3. Susunannya lemah suatu kalimat
disebutkan sesuai dengan
kata dan keluar dari beberapa sumber, dan disebutkan
di tempat yang lain dengan
tambahan sumber yang atau kurang.
4. Susah dalam mencari hadis
jika mengikuti nomor yang ada
di dalamnya tetapi kebanyakannya
tidak sesuai dengan nomor –nomor yang ada
didalamnya, tetapi kebanyakannya berdasarkan bab –bab . Nomor –nomor hadis yang
ada dikitab hadis kebanyakan tidak
sesuai dengan nomor yang ada di mu’jam .
5.Tidak mengikuti metode
mu’jam Arab secara rinci, tetapi penulis memakai metode khusus
yang membuat pembaca harus
membahasnya secara teliti atau rinci Penulis menjelaskan dijilid terakhir .
-Walaupun demikian keterbatasan ini
tidak mengurangi nilai kitab ini dan manfaatnya dalam efesiensi waktu
dalam mencari hadis .
- Setelah mu’jam
ini ada lagi dua
mu’jam yang lain .
المعجم
المفهرس لاًلفظ الجامعالصحيح
Karangan
imam Muslim bin Al-Hajjaj, Dr. Saad Al-Mursafi pada 3 jilid. Beliau juga
mengambil metode yang sama seperti orientalis tetapi tidak mengikuti kesalahan mereka. Akan
tetapi sayangnya beliau menyatakan bahwa beliau
mengambil dari mereka tetapi
tidak banyak perbaikannya .
مفتاح المعجم
المفهرس
Karangan
ustadz ma’mun sagiruzi, Miftah Al-mu’jam mufahras ataurannya lebih tertib. Kitab ini sudah
dibukukan. Kitab ini sebagai awal dari
dasar pembuatan kitab mu’jam
dikalangan kaum muslim, kritik terhadap
mu’jam mufahras, dan penjelasan tentang
keutamaaan Al-Miftah dan manfaatnya.
فهرس أهم الفاظ صحيح مسلم
Beliau memberi lampiran atau tambahan terhadap
shahih Muslim serta
mengumpulkan daftar isi
cetak sampai 5 kali. Semoga
allah memberikan pahala atas usaha beliau.
فهرس الفاظ سنن التر مذي
Sudah
dicetak sama dengan metode mu’jam mufahras tetapi susunannya lebih teliti,
sebagaimana yang ada di mu’jam
mufahras tetapi lebih banyak
muatan .
Keempat, diantara cara mengenali
hadis maudhu dan dhaif dengan menyampaikan,membandingkan dengan hadis
yang lain yang lebih baik
jika hadis yang disampaikan kepada ahli hadis
yang hafalannya sangat kuat maka hadisnya diterima ,apabila banyak kekurangan
maka ditolak, mereka juga menggunakan sarana yang diikuti, dengan itu dia bisa
memilih hadis yang selamat dan sisipan .
Selain yang empat ini ada lagi
sarana yang dipakai untuk membedakan hadis shahih dan dhaif. Begitulah berakhirnya
abad pertama dipenuhi dengan bermacam-macam ilmu-ilmu hadis antaranya :
1.Hadis
Al-Marfu’
2.Hadis
Al-Mauquf
3.Hadis
Al-Maqthu
4.Hadis
Al-Muttashil
5.Hadis
Al-Mursal
6.Hadis
Al-Munqathi
7.Hadis
Al-Mudallas
Dan
masing ada pembagian yang lain dan itu diklafikasikan menjadi dua :
1.Al-Maqbul
: Yang dikenal dengan hadis shahih dan hasan.
2.Al-Mardud:
Hadis yang tidak dikuatkan dengannya kejujuran orang yang menyampaikannya
Bagian ke 4
METODE-METODE AHLI HADIS DALAM PERIWAYATAN
Melalui
tatap muka menerima pelajaran dari sahabat, dan sahabat tersebut dari nabi SAW, dan mereka para thabi’in
mengikuti metode riwayat dan kritik yang berasal dari al-Quran dan hadis nabi, dan
mereka mempelajari berdasarkan yang diajarkan sahabat,kemudian mereka bangkit
untuk membuat kaidah-kaidah hadis dan para tokoh mengambil posisi dengan cara
menulis sanad dan matannya yang sahih,dan metode periwayatan dapat dikenali
pada akhir masa thabiin..
Disini kita akan membicarakan
metode-metode para ahli hadis dalam hal riwayat setelah sahabat.
Pengertian riwayat :
Riwayat menurut ahli hadis adalah
menerima hadis kemudian meriwayatkan menyampaikan
kepada orang dengan sanadnya sampai kepada orang dengan cara-cara periwayatan.
Kaidah-kaidah pembahasan ini dibahas
dalam metode ilmiyah tentang periwayatan,ulama menamakan rawi yang mengambil
hadis itu التحمل kemudian yang menyampaikan hadis itu
disebut الاداء semestinya yang menerima dan menyampaikan hadis harus beradab, ikhlas, harus
teliti, terpercaya, dan hal tersebut berkaitan dengan ilmu yang membahas para
perawi dengan sebab yang kuat, karena hal tersebut menunjukkn atas kekuatan
perawi dan ketelitiannya dalam menerima dan menyampaikan hadis, karena itu
pengaruhnya terhadap keadilan dan kedhobitan rawi.
Sebagaimana
diketahui bahwa mengetahui metode-metode ini sangat penting pada ilmu
hadis,karena hal tersebut memberikan kita titik terang atas metode-metode yang
diteliti yang diikuti oleh ulama islam dalm belajar dan menyampaikan hadis dan ruh keimanan yang agung, roh itu
yang membuat mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk menjaga dan menyebarkan
hadis dengan sangat amanah, dapat dipercaya penjagaan.
Pasal
ini mencakup lima cabang ilmiah:
1. Metode-metode
bagaimana cara seorang pencari ilmu pengetahuan
2. Metode-metode ahli
hadis
3. Metode-metode mendengarkan
hadis, mempelajari dan ketelitian mengoreksi
4. Metode-metode
periwayatan hadis dan syarat-syarat menyampaikan hadis
5. Metode-metode penulisanhadis
dan cara penulisan yang tepat
Banyak masalah dalam hal ini ,sampai ada
buku-buku khusus yang membahas masalah-masalah yang dimaksudnamun kami akan
menempuh jalan untuk menempuhnya dengan memaparkan meninggalkan perincian
detail yang cukup dikembalikan kepada rujukan, seperti kitab (kifayah) karangan
khotib al baghdadiy, dan kumpul dalam hal akhlaq rawi dan yang mendengarkan
hadis karangannya, atau sumber-sumber ulumul hadis,dan kitab kami (
metode-metide kritik dalam hadis )yang dipelajari secara ringkas yang sesuai
dengan penuntut dimasa ini.
Halaman 74-76
Temuan sanad yang penting
Sungguh telah lemah penyusunan dalam karangan hadits daripada
mencapai dengan nama-nama indeks. Dan begitu pula pada kitab dalam mentakhijkan
dasar yang lain.
Maka telah ada bilangan pembahasan untuk mengetahui siapa yang
meiwayatkan hadits dari sahabat yang mempunyai kitab asli terbagi pada empat
macam:
1.
Susunan
pada kalimat
2.
Susunan
pada tema-tema hadits.
3.
Susunan
pada awal permulaan hadits.
4.
Susunan
atas orang yang meriwayatkan hadits.
Maka telah disebutkan pada bagian yang pertama ( adalah susunan
pada kalimat). Seperti dalam Mu’jam mufahras oleh para orentalis.
Dan pada bagian yang kedua. Ialah susunan pada tema-tema hadits dan
diberi nama dengan daftar tema: seperti kitab Miftahu Kunuzhu Sunnah.
Kemudian Nurdin Ithir juga mengatakan: ada beberapa kelompok dengan
menyesuaikan indeks tema. Dan telah disebutkan kumpulannya daripada kitab
himpunan seperti: Kitab Maja’mi seperti: Jami Ushul,dan Maja’mi
al Jawa’iddan selai keduanya,
Juga si pengarang mengatakan pula untuk menyusul indeks tema, disebutkan orang yang
meneliti periwayatan seperti: Nasbu Ar’rayahdan seumpamanya, Kitab
Al-Ahkam. Seperti Ahkam Al Kubra, dan Ahkan As Suqra karya
Abdul Haq Al Isbaili. Dan kitab Bulugul Maram karya Ibnu Hajar Al
Asqalani dan selain keduanya.
Kemudian pengarang juga mengatakan: sandaran terhadap susunan pada
satu tema hadits, telah disebutkan sisanya pada kitab susunan indeks seperti: Shahih
Ibnu Hibban dan Shahih Ibnu Huzaimah dan Mustadrak atas shahih
Bukari dan Muslim dan puluhan kitab-kitab yang berdasarkan pada bab-bab.
Dan disebutkan pada bagian ketiga: adalah susunan pada awal hadits,
seperti Al Jami As Shagir karya Imam As Sayuti dan Jami Al Kabir begitu pula karya beliau. Juga kitab
Wafidul Qadir karya Imam Munawi dalam syarah Al Jami As-Shagir.
Dan disebutan pula pada macam yang keempat: adalah pembahasan
hadits-hadits pada susunan periwayat, jumlah kitab perawi: seperti Musnad
Imam Ahmad dan selainnya para periwayat dan kitab Athrof, seperti
kitabTufha Al Asraf karya Miz’zi.
Dan Perkara yang benar bahwasanya perbedaan taklif adalaha
mengherankan. Dan sangat disayangkan sekali ketinggalannya. Dan dimana pada
selain kitab bilangan indeks, dan Miftahu Kunuzhu Sunnah sifat bagi
indeks dalam menyandarkan tidak pernah
bagi sifat tersebut, seperti para perawi hadits, dan masadir pertama
Musannafa terdiri atas beberapa bab.
Sesungguhnya ambisi pada pembaharuan nama kadang-kadang ikut
terhadap seorang yang mengerjakan pada sesuatu yang mustahil tidak ada. Sampai
dengan bilangan daftar isi: kitab yang dihapal oleh penghapal hadits didalam
sudur rijal.
Hal yang kedua belas baramij sebagai berikut:
Yaitu adalah yang dekenal dengan cara computer atau (pemikiran
elektronik). Adalah dengan metode yang luas sekali mencakup pada nash/ kutubu
tis’ah , dan sebagianya atas banyaknya, seperti syarah-syarah kitab. Dan
tempat refrensi yan lain membantu dalam pelajaran hadits, seperti kitab Jarh
Wa At Ta’dil, dan mencakup program yang satu lebih banyak hingga 50 han,
dengan penjilidan bertamba pada 10 umtuk refrensi. Maka memberikan hasil guna
yang bermanfaat dengan berharga yang mulia, yaitu dalam waktu yang sangan
sempit sekali. Akan tetapi datang sebagian dengan manfaat yang memerlukan waktu
yang lama. Seperti mengitung para periwayat hadits, dengan apa-apa jalan untuk
pembhasan baru belu datang sebelumnya kecuali bagi imam-imam hafizh yang
terdahulu yang sangat akses daripada itu pelajaran periwayatan kitab hadits
diantaranya Rijali sunnah. Dan menjelaskan dari seshahihan apa yang di
shahihkan oleh mereka, sama dengan dalam shahihainy yaitu Bukhari dan Muslim,
atau kitab shahih selain mereka berdua.
METODE PENGKAJI HADITS
Sebagaimana yang telah di ungkapkan oleh
para ulama kita, tentang kreteria adab pencari hadits, yaitu adab setiap
penuntut ilmu itu harus jelas bagimana metode dalam mendapatkan ilmu, tetapi bagiku
para ahli hadist mengurangi metode pengkajian demi kepentingan keperluan
ilmunya.
- Ikhlas karena Allah ta’ala
Yaitu sesuatu yang pertama kali di
wajibkan atas penuntut ilmu, maka hendaklah ia menjadikan setiap kesibukannya
dalam menuntut ilmu itu ikhlas karena mengharap ridha allah. Dan ketika
mengembalikan kepada pahala yang banyak. Di dalam hadits mutawatir Rasulullah
SAW bersabda: “Allah
mencerahkan seseorang yang mendengar perkataanku dan menyampaikannya. Sufyan
Atsauri r.a. berkata: aku tidak mengetahui suatu pekerjaan yang lebih utama
dari mencari hadits bagi orang yang di kehendaki Allah dengannya.”
Dan hendaknya berhati-hati bagi pencari
ilmu, dan pencari hadits murni dan menjadikannya sampai kepada sesuatu dari tujuan-tujuan dunia.
Dan telah membenarkan di dalam hadits dari Abu hurairah
r.a. bahwa rasul SAW bersabda: pada permulaan manusia memutuskan hari kiyamat
atasnya: seseorang yang belajar ilmu dan mengajarkannya, dan membaca al qur’an,
maka dia datang dengannya, maka dia megetahuinya, dengan keumumannya, maka dia
mengenalnya,. Berkata: maka apa yang engkau kerjakan padanya. Berkata: aku
belajar ilmu dan mengamalkannya dan aku membaca padamu Al Qur’an, berkata:
engkau berdusta, tetapi kamu telah mempelajari ilmu supaya di sebut orang yang
berilmu dan kamu membaca Al Qur’an supaya di
sebut Qori. Maka telah di katakan kemudian di perintah dengannya maka
terseret di atasnya wajahnya sampai terlempar di neraka.
Di dalam hadits Rasulullah SAW bersabda:
barang siapa mempelajari suatu ilmu maka sampai dengannya berhadapan dengan
Allah tidak belajar kecuali terluka dengan tawaran dunia tidak dapat mengenal
syurga di hari kiyamat yaitu baunnya. Di keluarkan oleh sayyidina Abu Daud dan
Tirmidzi dan Ibnu Majah.
Dan berkata Hammad Bin Salamah dan beliau adalah termasuka abdal:
Barang siapa yang mencari hadits selain karena Allah ta’ala maka ingkar
dengannya.
- Bersungguh-sungguh dalam menerima ilmu dari ulama
Di antaranya bepergian untuk hal itu sehingga mereka berkata
dalam mencari hadits bagi orang yang tidak bepergian.”jangan merasa nyaman
dengan rasa yang benar.”
- Beramal dengan ilmu
Dan telah menerangkan Al Qur’an bagi orang yang tidak beramal dengan
ilmu beberapa contoh. Dan menjadikannya pengajaran kepada ketetapan di dalam
firman Allah SWT surah Al-Jum’ah ayat 5, yang artinya: “perumpamaan
orang-orang yang di beri tugas membawa taurat, kemudian mereka tidak membawanya
(tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang
tebal. Sangat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang Dzalim.”
- Menghormati guru-guru dan memuliakan mereka
Seorang
penuntut ilmu itu wajib
memuliakan syekh-syekhnya dan guru-gurunya, dan orang-orang yang menerima
langsung darinya, hal itu karena sebab hadits dan ilmu dan menjaga gurunya baik
dikala ada maupun tidak ada. Dan jangan mencari hambatan tetapi semua itu
karena Allah.
- Memberi faedah untuk sesama siswa
Perihal
faedah yang pertama mencari hadits dan ilmu dan barang siaapa yang
menyembunyikan dari saudara-saudaranya sesuatu atau suatu faedah layak yang
tidak menguntungkan dengannya. Seperti yang dikatakan oleh paraa ulama.
- Mengikuti metode
Ini
adalah suatu perkara yang
paling penting, banyak sekali penuntut ilmu bertanya kepadaa kami tentang hal
itu, dari kami telah meringkaskan tentang hal itu kepada para pecinta
dasar-dasar metode ini sesuatu yang berkaitan dengan studi referensi. Yang
paling penting dari kitab hadits adaalah meriwayatkan , dan pertama apa-apa
yang telah dihapal adalah Riyadussolihin imam Nawawi kemudian meraji riwayat
hadits dan pokoknya adalah kitab Muwatta' imam Malik karena mudah dihapal dan
dipelajari karena ringkas dan sanad-sanadnya pendek dan bagus mengambil manfaat
hadits-hadits, kemudian Bukhari dan Muslim, kemudian memperhatikan dengan sanad
Abu Daud, Tirmidzi, an-Nasa'i, Ibnu Majjah, paling dhabit pahamannya karena
ringan makna-maknanya. Semua kitab-kitab khususnya kitab Masdarujtakrij. Dan
menentukan dengan syarah hadits dn paling penting "fathul Baari dengan
syarah shahih Bukhari" oleh hafiz Ibnu Hajar dan "Minhaj syrah
shahih Muslim bin Hijaj" oleh imam an-Nawawi.
Dan
kitab "Nihayati fi
gharibil hadits" oleh Ibnu Asiir al-Jazari. Maka dengan jelas sempurna
bagi mufradat hadits dan logat nawawi, sehingga jelas keringkasan tiap-tiap
hadits nabi.
Yang
paling penting sesuatu yang
diinginkannya menuntut ilmu ketika berlalu hadits yang tidak dikenalnya maka
dibahas dan dipelajarinya.seperti itu juga apabila berlalu isim atau kalimat
yang sulit atau ada masalah di dalam ilmu maka dibahas dan dipelajarinya. Maka
sesungguhnya dikumpulkannya yang demikian itu banyak ilmu yang sulit dn mudah.
- Kesungguhan dengan mustalahul hadits
Tidak
merasa cukup bagi seorang
pencari hadits sekalipun banyak hapal dan meriwayatkannya, jika tidak memberi manfaat dengan yang lain,
sesungguhnya pelajaran ilmu-ilmu hadits
akan lebih jelas dengan ulumul hadits tentang rijalul hadits (ahli-ahli
hadits) dengan tujuan-tujuan mereka dan kepentingan mereka, berkurangnya orang-orang
yang hapal hadits karena bodoh, mempunyai kekurangan, kecacatan, dan cacat yang
menyebabkan ditolaknya hadits, sempurna dalam memberikan manfaat dari
mewariskan sunnah yang mulia, barang kali kitab kami (Minhajul Nakad fi ulumil
hadits ) sangat sesuia bagi penuntut ilmu di masa ini untuk menerangkan dan
merenopasi pelejaran ilmu yang besar ini.
·
Metode Para Ahli
Hadits
Para
ulama menggunakan
"Adab-adab pencari hadits" yaitu adab yang memerlukan setiap orang
berada di majlis ilmu atau untuk
belajar, akan akan kita simpulkan pada apa yang akan datang:
1.
Ikhlas dan
membenarkan niat
Ikhlas adalah inti dari
segala amal semua nabi memerintahkan ikhlas dan mereka diutus untuk
mendakwahkannya. Para ulama hadits
semestinya menjauhi ria dan mencintai dunia untuk memperoleh warisan
nubuwwah dari hadits-hadits Rasulullah SAW. seperti firman Allah SWT surah
Al-Bayyinah ayat 5, yang artinya: “Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus.”
2.
Mengamalkan berbagai
fadilahnya
Seorang ulama hadits
seharusnya mengikuti kemuliaan akhlak dan kebaikan perangai orang lain,
sebagaimana ulama-ulama hadits terdahulu. Ahli hadits mereka adalah keluarga
nabi.
Ini tentang
perjalanan para pencari hadis untuk mendatangi ulama, sehingga ada yang berkata
jika ada orang yang mencari hadis itu tidak melakukan perjalanan untuk
mendatangi ulama. Di sebut jangan merasa
nyaman dengan rasa yang benar.
3.
mengamalkan ilmu
Al-qur'an
telah mengungkapkan seburuk-buruk perumpamaan yaitu orang yang tidak
mengamalkan ilmu. Dan menjadikan pengajaran kepada ketetapan. Seperti firman
Allah Swt pada surah al jum'ah: 5 yang artinya: perumpamaan orang-orang yang
diberi tugas membawa taurat, kemudian mereka tidak membawannya ( tidak
mengamalkannya ) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.
Sangat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.
4. menghormati guru-guru dan
memuliakan mereka
Seorang penuntut ilmu itu wajib memuliakan
syekh-syekhnya dan guru-gurunya, dan orang-orang yang menerima langsung
darinya, hal itu karena sebab hadits dan ilmu dan menjaga gurunya baik dikala
ada maupun tidak ada. Dan jangan mencari hambatan tetapi semua itu karena
Allah.
5. member faedah untuk sesama siswa
Perihal faedah yang pertama mencari hadits dan ilmu dan
barang siaapa yang menyembunyikan dari saudara-saudaranya sesuatu atau suatu
faedah layak yang tidak menguntungkan dengannya. Seperti yang dikatakan oleh
paraa ulama.
6. mengikuti metode…….dlm mencari
hadits
Ini adalah suatu perkara yang paling penting, banyak
sekali penuntut ilmu bertanya kepadaa kami tentang hal itu, dari kami telah
meringkaskan tentang hal itu kepada para pecinta dasar-dasar metode ini sesuatu
yang berkaitan dengan studi referensi. Yang paling penting dari kitab hadits
adaalah meriwayatkan , dan pertama apa-apa yang telah dihapal adalah
Riyadussolihin imam Nawawi kemudian meraji riwayat hadits dan pokoknya adalah
kitab Muwat a' imam Malik karenaa mudah
dihapal dan dipelajari karena ringkas dan sanad-sanadnya pendek dan bagus
mengambil manfaat hadits-hadits, kemudian Bukhari dan Muslim, kemudian
memperhatikan dengan sanad Abu Daud, Tirmidzi, an-Nasa'i, Ibnu Majjah, paling
dhabit pahamannya karena ringan makna-maknanya. Semua kitab-kitab khususnya
kitab Masdarujtakrij. Dan menentukan dengan syarah hadits dn paling penting
"fathul Baari dengan syarah shahih Bukhari" oleh hafiz Ibnu Hajar dan
"Minhaj syrah shahih Muslim bin Hijaj" oleh imam an-Nawawi.
Dan kitab "Nihayati fi gharibil hadits"
oleh Ibnu Asiir al-Jazari. Maka dengan jelas sempurna bagi mufradat hadits dan
logat nawawi, sehingga jelas keringkasan tiap-tiap hadits nabi.
Yang paling penting sesuatu yang diinginkannya
menuntut ilmu ketika berlalu hadits yang tidak dikenalnya maka dibahas dan
dipelajarinya.seperti itu juga apabila berlalu isim atau kalimat yang sulit
atau ada masalah di dalam ilmu maka dibahas dan dipelajarinya. Maka
sesungguhnya dikumpulkannya yang demikian itu banyak ilmu yang sulit dn mudah.
7. kesungguhan dengan mustalahul
hadits
Tidak merasa cukup bagi seorang pencari hadits
sekalipun banyak hapal dan meriwayatkannya, jika tidak member manfaat dengan
yang lain, sesungguhnya pelajaran ilmu-ilmu hadits akan lebih jelas dengan ulumul hadits tentang
rijalul hadits (ahli-ahli hadits) dengan tujuan-tujuan mereka dan kepentingan
mereka, berkurangnya orang-orang yang hapal hadits karena bodoh, mempunyai
kekurangan, kecacatan, dan cacat yang menyebabkan ditolaknya hadits, sempurna
dalam memberikan manfaat dari mewariskan sunnah yang mulia, barang kali kitab
kami (Minhajul Nakad fi ulumil hadits ) sangat sesuia bagi penuntut ilmu di
masa ini untuk menerangkan dan merenopasi pelejaran ilmu yang besar ini.
·
Metode Para Ahli
Hadits
Para ulama menggunakan
"Adab-adab pencari hadits" yaitu adab yang memerlukan setiap orang
berada di majlis ilmu atau untuk
belajar, akan akan kita simpulkan pada apa yang akan datang:
1.
Ikhlas dan
membenarkan niat
Ikhlas adalah inti dari
segala amal semua nabi memerintahkan ikhlas dan mereka diutus untuk
mendakwahkannya. Seperti firman Allah yang artinya: padahal mereka hanya
diperintahkan menyembah Allah dengan ikhlas mentaatinya semata-mata karena
menjalankan agama.( al-Bayyinah:5).Para ulama hadits semestinya menjauhi ria dan mencintai dunia
untuk meperoleh warisan nubuwwah dari hadits-hadits Rasulullah SAW.
2.
Menghiasi dari
sifat-sifat terpuji.
Seorang ulama hadits
seharusnya mengikuti kemuliaan akhlak dan kebaikan perangai orang lain,
sebagaimana ulama-ulama hadits terdahulu. Ahli hadits mereka adalah keluarga
nabi.
PERHATIAN !!!
Orang- yang berpartisifasi dalam penerjemahan ini ; saya selaku pemilik
blogger ini dan sahabat-sahabat saya TAHA REGULER/TAHA PKKJ Angk 09.
Dan Bpk. Abdullah Karim.
0 komentar:
Post a Comment