Kata “qisas” (قصاص) berasal dari bahasa Arab yang berarti
“mencari jejak”, seperti “al-qasas“. Sedangkan
dalam istilah hukum Islam, maknanya adalah pelaku kejahatan dibalas seperti
perbuatannya, apabila ia membunuh maka dibunuh dan bila ia memotong anggota
tubuh maka anggota tubuhnya juga dipotong.[2]
Menurut
keterangan al-Baidhawi, ahli tafsir yang terkenal: "Di zaman Jahiliyah
pernah terjadi pertumpahan darah di antara dua buah persukuan Arab. Yang satu
kabilahnya kuat dan yang satu lagi lemah. Maka terbunuhlah salah seorang dari
anggota kabilah kuat itu oleh kabilah yang lemah tadi. Lantaran merasa diri
kuat, kabilah yang kuat itu mengeluarkan sumpah; akan mereka balas bunuh,
biarpun yang terbunuh di kalangan mereka seorang budak, mereka akan meminta
orang yang merdeka. Walaupun yang terbunuh di kalangan mereka seorang
perempuan, mereka akan minta ganti nyawa dengan seorang laki-laki."
Riwayat
ini juga dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim dan Said bin Jubair. Lantaran itu maka
hukum qishash,zaman jahiliyah bu_kan hukum, tetapi balas dendam,
yang mereka sebut Tsar.
Agama
Islampun datang, yaitu di saat perdendaman masih belum habis. Islam tidak dapat
membenarkan balas dendam. Islam hanya mengakui adanya hukum qishash, bukan
balas dendam. Maka kalau terjadi lagi pembunuhan manusia atas manusia, tanggung
jawab penuntutan hukum bukan saja lagi terletak pada keluarga yang terbunuh,
tetapi terletak ke atas pundak orang yang beriman. Balas dendam harus dicegah, yang berhutang
nyawa harus dibayar dengan nyawa, tetapi pintu maaf selalu terbuka; maka
datanglah ayat ini:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan
cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan
kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih.(QS.
Al-Baqarah:178).
Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian untuk melaksanakan hokum
qishash dalam kasus pembunuhan di antara kalian apabila telah disepakati
pelaksanaannya dan tidak ada hal yang menghalanginya seperti sudah ada
kesepakatan untuk mengganti pelaksanaan qishash dengan pembayaran tebusan.
Artinya, bila telah disepakati pelaksanaan qishash tersebut, hendaklah kalian
melaksanakan hukuman mati kepada si pembunuh, kendati apa pun derajat
sosialnya; orang merdeka, seorang budak, atau seorang wanita harus tetap
dibunuh bila ia memang telah terbukti membunuh.[3]
Jangan
kalian melampaui batas dengan membunuh orang yang bukan si pembunuh sebagaimana
dilakukan oleh orang-orang pada masa Jahiliyah, atau dengan membunuh orang
lebih lemah dari si pembunuh sebenarnya sebagaimana dilakukan para penyembah
berhala.[4]
Kalian harus
bersikap adil dalam permasalahan diyat (denda) dan pembunuhan.
Barangsiapa menggugurkan hak qishashnya dan ridha dengan menerima diyat
(tebusan), maka hendaklah wali si terbunuh untuk tidak bersikap keras
(mendesak-desak) dalam menuntut tebusan tersebut. Namun, jangan pula si
pembunuh menunda pembayaran diyat kepada yang berhak menerimanya dengan
cara yang tidak baik.[5]
Allah telah
memberi kemudahan terhadap umat ini dengan member keringanan dan mencurahkan
rahmat. Dia mensyariatkan adanya kewajiban diyat sebagai bentuk rahmat
terhadap kelompok si pembunuh dan kasih saying terhadap keluarga terbunuh,
yakni bila ada keridhaan dan hilangnya tuntutan dari pihak yang terbunuh.[6]
Barangsiapa
telah mengambil diyat, tetapi ia masih membunuh maka sesungguhnya ia
telah berbuat zalim dan bertindak bodoh, dan Allah akan menyiapkan untuknya
siksa yang pedih atas perbuatan dosa besar ini.[7]
Abu ja’far
berkata: Kata كتب عليكم artinya
di wajibkan atas kalian.
Jika
ada yang berkata: Apakah qishash wajib dilakukan oleh wali korban atas si
pembunuh? Jawabannya: Tidak, melainkan hal itu hanyalah mubah, dan boleh
memaafkan dengan ganti diyat.[8]
Hadis
Rasulullah SAW yang menyatakan: المسلمون تتكافأ دماؤهم artinya: “umat Islam itu sama nilai darahnya”.[9]
Lalu
apa penakwilan ayat tersebut?
Para
mufassir berselisih pendapat dalam hal ini. Seperti dijelaskan dalam
riwayat-riwayat berikut:
Dari
Asy-Sya’bi tentang firman Allah:
Ia
berkata: ayat ini diturunkan atas dua kabilah Arab yang saling berperang karena
fitnah, mereka berkata: akan kami fulan bin fulan atas budak kami, dan fulan
bin fulan dari fulanah, maka turunlah ayat di atas.[10]
Dari
Qatadah ia berkata: adalah kehidupan orang-orang jahiliyah diwarnai dengan
keangkuhan dan ketaatan kepada syetan, dimana suatu kaum jika memiliki
kekuatan, lalu ada salah seorang dari budak mereka dibunuh oleh budak dari kaum
yang lain, maka mereka mengatakan:”kami tidak akan membalas untuknya kecuali
kecuali atas orang merdeka.” Karena rasa gengsi mereka atas kaum yang lain, dan
jika ada seorang wanita dari mereka yang dibunuh oleh wanita kaum yang lain,
maka mereka mengatakan: “kami tidak akan membalas untuknya kecuali atas orang
laki-laki.” Maka turunlah ayat di atas.[11]
Dari
Amir mengatakan tentang ayat berikut: ia diturunkan berkenaan dengan peperangan
fitnah, jika ada seorang budak dari mereka dibunuh dan seorang budak dari yang
lain dibunuh dengan maka seimbang, begitu juga dua orang perempuan dan dua
orang merdeka, demikian maknanya insya Allah.[12]
Dari
Qatadah dari Al Hasan, bahwa Ali pernah mengatakan tentang hukuman seorang
laki-laki yang membunuh isterinya, ia berkata: jika ingin mengqishashnya
silahkan dan membayar denda setengah diyat.[13]
Dari
Sya’bi, ia menceritakan tentang seorang laki-laki yang membunu isterinya dengan
sengaja, lalu mereka membawanya kepada ali, maka ia berkata: jika kalian ingin
mengqishasnya silahkan, dan berikan sisa diyat laki-laki atas diyat permpuan.[14]
Jadi,
firman Allah: كتب عليكم القصاص maknanya:
telah dfiwajibkan atas kalian dalam Lauhul Mahfudz bahwa tidak dibenarkan
membunuh selain pelaku pembunuhan.[15]
Jadi
perwakilannya: wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian qishash
pada sekalian korban; orang merdeka qishash dengan orang merdeka, budak qishash
dengan budak, perempuan qishash dengan perempuan.
Penakwilan
firman Allah:
Abu Ja’far berkata: sebagian
mufassir berseliosih pendapat tentang penakwilan ayat ini. Sebagian mereka
mengatakan: maknanya, bahwa jika wali korban membebaskan si pembunuh dari
qishash dan memaafkannya dengan ganti diayat maka hendaknya si wali korban
bersikap bijak dan si pembunuh dapat memenuhinya dengan baik.[16]
Penakwilan firman Allah:
Abu Ja’far berkata: Maknanya;
hokum yang aku tetapkan kepada kalian ini wahai umat Islam, yaitu member ma’af
kepada pembunuh dari qishash dengan ganti diyat, adalah suatu kemudahan dan
rahmat yang Aku berikan kepada kalian, dimana Aku telah mengharamkannya atas
orang-orang sebelum kalian.[17]
Penakwilan firman Allah:
Abu Ja’far: Maknanya; barangsiapa
yang melampaui batas hukum Allah sesudah mengambil diyat yang disepakati yaitu
membunuh si pembunuh maka baginya siksa yang pedih.[18]
Hukum
qishash adalah hukuman terbaik, baik bagi masyarakat klasik maupun modern,
karena hukuman tersebut mencerminkan keadilan, proporsional, dan rasional.
Pelaku diberi balasan sesuai dengan perbuatannya, dan keluarga diberi
kewenangan dan hak yang semestinya. Jika hukuman ini dilaksanakan secara
profesional dan proporsional, tentu secara bertahap akan terwujud keamanan dan
ketertiban di dalam masyarakat.[19]
Dapat disimpulkan bahwa qisas adalah
mengambil pembalasan yang sama atau serupa, mirip dengan istilah, “ jiwa dengan
jiwa, anggota dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga. “utang nyawa dibayar dengan nyawa”. Kecuali dengan
suatu jalan perdamaian, seperti; membayar diyat dan meminta kerelaan kepada
keluarga si terbunuh.
[1]
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Baqoroh/al-baqoroh_ayat_178_179.htm
(didownload 03-05-2013)
[2]
http://forpimekkah.blogspot.com/2011/06/hukum-qishash-dalam-islam.html
(didownload 18-05-2013)
[3] Aidh al-Qarni. At-Tafsiru al-muyassaru.
Pen, tim Qisthi Press (Jakarta: Qisthi Press, 2007), jil 1, hlm 136.
[4] Aidh al-Qarni. At-Tafsiru al-muyassaru.
Pen, tim Qisthi Press (Jakarta: Qisthi Press, 2007), jil 1, hlm 136.
[5] Aidh al-Qarni. At-Tafsiru al-muyassaru.
Pen, tim Qisthi Press (Jakarta: Qisthi Press, 2007), jil 1, hlm 136.
[6] Aidh al-Qarni. At-Tafsiru al-muyassaru.
Pen, tim Qisthi Press (Jakarta: Qisthi Press, 2007), jil 1, hlm 137.
[7] Aidh al-Qarni. At-Tafsiru al-muyassaru.
Pen, tim Qisthi Press (Jakarta: Qisthi Press, 2007), jil 1, hlm 137.
[8] Abu ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Jami’
Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an. Pen, Ahsan Askan. (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), cet 1, jil 3, hal 18.
[9] Abu ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Jami’
Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an. Pen, Ahsan Askan. (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), cet 1, jil 3, hal 20.
[10] Abu ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Jami’
Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an. Pen, Ahsan Askan. (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), cet 1, jil 3, hal 20.
[11] Abu ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Jami’
Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an. Pen, Ahsan Askan. (Jakarta: Pustaka Azzam,
2008), cet 1, jil 3, hal 20-21.
[12] Abu ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Jami’
Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an. Pen, Ahsan Askan. (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), cet 1, jil 3, hal 22.
[13] Abu ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Jami’
Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an. Pen, Ahsan Askan. (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), cet 1, jil 3, hal 24.
[14] Abu ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Jami’
Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an. Pen, Ahsan Askan. (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), cet 1, jil 3, hal 25.
[15] Abu ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Jami’
Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an. Pen, Ahsan Askan. (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), cet 1, jil 3, hal 28.
[16] Abu ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Jami’
Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an. Pen, Ahsan Askan. (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), cet 1, jil 3, hal 28.
[17] Abu ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Jami’
Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an. Pen, Ahsan Askan. (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), cet 1, jil 3, hal 35.
[18] Abu ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Jami’
Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an. Pen, Ahsan Askan. (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), cet 1, jil 3, hal 38.
[19] Drs. H. Su’aib, H. Muhammad M,Ag. 5 Pesan
al-Qur’an Jilid Kedua.(Uin Maliki: Press 2011).
0 komentar:
Post a Comment