Santa Mars

Laki-laki, 18 tahun

Malang, Indonesia

Banggalah pada dirimu sendiri, Meski ada yang tak Menyukai. Kadang mereka membenci karena Mereka tak mampu menjadi seperti dirimu.
::
Start
Windows 8 SM Versi 3
Shutdown

Navbar3

Search This Blog

Wednesday 5 June 2013

Kehidupan di Akhirat

Akhirat secara bahasa berarti yang akhir (kemudian). Dalam arti luas, term akhirat, mengacu kepada fase, tempat, atau perihal kehidupan seseorang setelah selesai menjalani kehidupan di dunia ini. Sedangkan dalam arti sempit term itu mengacu kepada fase, tempat, atau perihal kehidupan manusia, sejak terjadinya kehancuran total manusia dan alam semesta. Menurut ahli kalam, akhirat ialah hari manusia bangun atau dibankitkan dari kubur untuk digiring ke padang mahsyar, tempat mereka dikumpulkan sementara sebelum ditentukan tempat mereka, syurga atau neraka.[4]
Berdasarkan definisi tersebut, umat Islam pada umumnya menyakini bahwa alam akhirat itu bersifat materi dan fisik, dengan pengertian materi akhirat lain dari materi dunia. Benda-benda dunia ini dan benda-benda akhirat hanya sama nama dan sebutan, tapi hakikatnya berbeda, karena yang tersedia di akhirat itu adalah sesuatu yang tidak pernah terlihat manusia. Kalangan terpelajar memahami definisi tersebut sebagai upaya merealisasikan hal-hal yang bersifat spiritual, agar akhirat itu dipahami dan iman kepadanya dapat memotivasi untuk tekun beramal shaleh di dunia ini.[5]
Agus Mustofa dalam bukunya “Ternyata Akhirat Tidak Kekal“ membedakan  antara kehidupan dunia dengan kehidupan di akhirat,  ia melihat dari dua sudut pandang , yaitu waktu dan tempat berlangsungnya. Pertama, dari segi waktu kata dunyâ berarti dekat. Artinya kehidupan dunia adalah yang dekat dengan kita alami sekarang, sedangkan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang berikut, yakni setelah kehidupan dunia. Maksudnya, kehidupan akhirat adalah kehidupan yang terakhir dengan kata lain adalah kehidupan final.[6] Kedua, tempat berlangsungnya. Secara umum kita dapat mengatakan bahwa kehidupan dunia dan akhirat terjadi di bumi.  Timbul pertanyaan, apa bedanya? Perbedaannya adalah bumi di dunia dan di akhirat tidak sama. Bumi di akhirat adalah bumi yang mengalami banyak perubahan secara radikal. Sebagaimana firman Allah:
    
   48. (yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan meraka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. (Ibrahim/14: 48). 
25. Allah berfirman: "Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan. (al-‘Araf/7: 25).
                Dari ayat ini dia berkesimpulan, boleh jadi, telah membalik kenyakinan manyoritas umat Islam selama ini yang mengatakan bahwa alam akhirat ini  adalah sebuah alam ghaib, yang entah terjadi dimana. Namun kalau kita menyimak kedua ayat tersebut, maka telihat bahwa alam akhirat akan terjadi di bumi ini. Karena manusia meninggal di bumi dan di hidupkan di bumi pula. Bukankan permulaan alam akhirat ditandai dengan kebangkitan manusia dari alam kubur.[7]
Al-Quran menginformasikan bahwa pada umumnya masyarakat Arab di masa Nabi meragukan bahkan mengingkari adanya hari akhir; semetara yang percaya pun memiliki kepercanyaan keliru. Diantaranya, firman Allah Swt:
49. dan mereka berkata: "Apakah bila Kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah Kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?"( al-Isra/17: 49).
29. dan tentu mereka akan mengatakan (pula): "Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia ini saja, dan kita sekali-sekali tidak akan dibangkitkan .( al-'An'ȃm/ 7: 29).
38. mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: "Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". (tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (an-Nahl/16: 38).[8]
1)   Argumentasi Hikmah
Apabila kita memandang kehidupan dunia ini tanpa adanya kehidupan yang lain, maka kehidupan dunia ini akan terasa nihil dan tanpa makna. Persis seperti kita beranggapan bahwa kehidupan di alam rahim tanpa adanya kehidupan dunia setelahnya adalah hampa. Berdasarkan tata cipta, apabila manusia pada awal detik-detik penciptaannya akan binasa dan mati, betapa kehidupan alam rahim akan menjadi sebuah kehidupan yang tanpa makna? Demikian juga apabila dibayangkan kehidupan dunia ini terputus dari kehidupan lainnya, kehidupan ini akan mengalami kehampaan. Haruskah kita hanya hidup selama—kurang-lebih—tujuh puluh tahun di alam dunia ini dengan segenap masalah yang kita hadapi, lalu kita musnah begitu saja? Beberapa lamakah kita menjalani masa muda, dan tanpa pengalaman “Hingga menjadi matang wahai bocah ingusan. Usia ini akan berakhir? Beberapa lama kita harus mengejar ilmu pengetahuan, dan setelah memperoleh segala pengetahuan, salju ketuaan datang menerpa kita.
Lalu, untuk apa kita hidup? Menyantap beberapa porsi makanan, memakai beberapa potong pakaian, bangun dan tidur, yang berulang-ulang terus menerus, melanjutkan aktivitas hidup yang membosankan dan melelahkan?
Sebenarnya, apakah langit yang membentang dan bumi yang menghampar, dan seluruh pendahuluan dan pengakhiran, seluruh guru, seluruh perpustakaan besar, dan seluruh pekerjaan-pekerjaan rumit dalam penciptaan kita dan makhluk-makhluk yang lain; seluruhnya dialokasikan untuk makan, tidur, pakaian, dan kehidupan materi? Di sinilah mereka yang menolak kejadian Hari kiamat harus mengakui kenihilan dan ketakbermaknaan hidup mereka. Ironisnya, sebagian mereka melakukan bunuh diri untuk menyelamatkan diri dari kehidupan nihil ini, dan itu malah menjadi kebanggaan bagi mereka. Bagaimana mungkin seseorang yang beriman kepada Allah swt. dan kemahabijaksanaan-Nya yang tak terhingga, meyakini bahwa kehidupan dunia ini bukan sebagai penduluan untuk memasuki kehidupan abadi di alam lain? Firman Allah:
115.Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada (Al-Mukminun/23: 115).
Maksudnya, apabila kamu tidak kembali ke sisi Tuhan, maka dunia ini akan mengalami kesia-siaan dan ketanpamaknaan. Ya! Kehidupan dunia ini akan memiliki makna dan sesuai dengan hikmah Ilahi jika “ad-dunyâ mazra'atul âkhirah” (dunia ini merupakan ladang akhirat). Kita harus memandang dunia ini sebagai lintasan untuk memasuki alam yang lebih luas. Dunia ini merupakan lahan persiapan untuk menjelang dunia lain, dan pasar bagi kehidupan akan datang.
Demikianlah Amirul Mukminin Ali a.s. bersabda dalam kalimat yang sarat makna: “Dunia ini adalah tempat yang benar bagi orang yang membenarkannya, tempat aman bagi mereka yang memahaminya; kediaman yang kaya bagi siapa yang mengumpulkan bekal di dalamnya (untuk kehidupan masa datang), istana nasihat bagi yang mengambil nasihat darinya, masjid bagi para pecinta Tuhan, kediaman ibadah para malaikat Allah, rumah bagi wahyu Ilahi, dan tempat perniagaan bagi yang berbakti kepada Tuhan.
Ringkasnya, menelaah dan mengkaji keadaan dunia ini dengan baik akan memberikan kesaksian bahwa di balik kehidupan dunia ini masih terdapat kehidupan yang lain. Firman Allah:
62.  Dan Sesungguhnya kamu Telah mengetahui penciptaan yang pertama, Maka mengapakah kamu tidak mengambil pelajaran (untuk penciptaan yang kedua)(Al-Waqi‘ah /56: 62)
2) Argumentasi Keadilan (‘Adâlah)
Dengan memperhatikan sistem semesta dan undang-undang penciptaan, seluruhnya menunjukkan bahwa segala sesuatunya berlaku sesuai dengan perhitungan yang matang. Dalam struktur badan kita, sedemikian sistem itu beroperasi secara adil sehingga secuil pun perubahan yang terjadi akan menjadi sebab penyakit dan kematian. Gerakan jantung, sirkulasi darah, kelopak mata, dan bagian sel-sel badan kita termasuk dalam sistem yang apik dan akurat yang berlaku di alam semesta. “Wa bil-'adl qâmat as-samâwâti wal-ardh.” Dengan keadilanlah langit dan bumi dapat tegak.” Apakah manusia hanyalah sebuah potongan ganjil di alam semesta yang membentang ini?
Benar bahwa Allah Swt. menganugerahkan kehendak bebas kepada manusia hingga ia diuji dan dapat melintas dalam perjalanan menuju kesempurnaan. Akan tetapi, sekiranya manusia menyalahgunakan kebebasan yang dimilikinya, apa yang akan terjadi? Apabila para tiran dan orang-orang yang tersesat dan menyesatkan menyalahgunakan anugerah Ilahi ini, apa yang dituntut oleh keadilan Ilahi? Benar bahwa sekelompok orang yang buruk perbuatannya di dunia ini akan dikenakan hukuman atau setidaknya sebagian dari hukuman tersebut. Akan tetapi, tentu saja tidak seluruh pelaku kejahatan mendapatkan hukuman atas perbuatannya, atau seluruh orang-orang suci dan baik tidak mendapatkan ganjaran dari perbuatan baik mereka di dunia ini secara tunai. Lalu, apakah mungkin kedua kelompok ini berada pada satu telapak keadilan Ilahi? Menurut Al-Qur’an:
35.  Maka apakah patut kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). (Al-Qalam/68: 35-36)
Secara umum, tidak ada keraguan tentang perbedaan manusia dalam ketaatannya kepada Allah swt, sebagaimana juga ganjaran yang dapat diterima dunia ini tidaklah memadai. Mahkamah fitrah, dan reaksi dosa-dosa dengan sendirinya (tanpa adanya Kiamat) pun tidaklah cukup. Oleh karena itu, kita mesti menerima bahwa dalam upaya menegakkan keadilan Ilahi harus terdapat sebuah mahkamah pengadilan yang bersifat menyeluruh, sehingga sekecil apa pun kebaikan atau perbuatan buruk harus diperhitungkan di dalamnya. Apabila tidak, asas keadilan tidak akan pernah dapat tegak.
Dengan demikian, harus kita terima bahwa penerimaan keadilan Tuhan sama dengan penerimaan adanya Hari Kiamat (ma'âd) dan Hari Kebangkitan. Al-Qur’an menyebutkan
47.  Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) Hanya seberat biji sawipun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan. ( Al-Anbiya/21: 47)
54.  Dan kalau setiap diri yang zalim (muayrik) itu mempunyai segala apa yang ada di bumi ini, tentu dia menebus dirinya dengan itu, dan mereka membunyikan penyesalannya ketika mereka Telah menyaksikan azab itu. dan Telah diberi Keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dianiaya. (Yunus/10: 54)
3) Argumentasi Tujuan Penciptaan
Berbeda dengan anggapan kaum materialis, manusia dalam pandangan dunia tauhid memiliki tujuan dalam penciptaannya. Tujuan ini dalam terma filsafat disebut sebagai takâmul (kesempurnaan), dan dalam bahasa Al-Qur’an dan hadis dikenal sebagai qurb ilallôh (kedekatan diri kepada Tuhan) atau ibadah (penghambaan). “Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56). Di bawah cahaya penghambaan ini, mereka mencapai kesempurnaan dan merengkuh kedekatan kepada Allah swt.
Apakah tujuan agung ini dapat tercapai jika kematian merupakan akhir dari segalanya? Tanpa ragu, jawaban adalah tidak (negatif). Kehidupan setelah kematian di dunia ini melazimkan adanya dunia lain dan penyempurnaan manusia menjalani proses kontiunitas. Dan tempat menuai hasil ladang dunia ini adalah alam sana. Bahkan, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, di dunia yang lain, perjalanan menuju kesempurnaan (takâmul) ini berlanjut sehingga tujuan akhir ini dapat tergapai.
Konklusinya, pencapaian tujuan penciptaan ini tanpa keberadaan ma'âd tidak akan dapat terwujud. Dan sekiranya kita memutus relasi kehidupan ini dengan kehidupan pasca kematian, maka seluruh kehidupan ini misterius, dan kita tidak akan pernah memiliki jawaban atas pertanyaan mengapa dan mengapa.[9]
Ada sebuah pendapat yang hanya meyakini ma’ad ruhani. Artinya, manusia tidak akan lagi dibangkitkan dengan jasmaninya. Hanya ruh yang akan memperoleh pahala atau siksaan.  Sedangkan Ayat-ayat al-Qur’an sendiri  bahwasanya ma’ad jasmani. Manusia akan dibangkitkan dari kuburnya beserta badannya. 
Adapun firman Allah Swt. yang menyebutkan bahwa kehidupan diakhirat adalah jasmani, diantaranya:
43.  (yaitu) pada hari mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala (sewaktu di dunia), (al-Ma’arij/70: 43).
7.  Sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan. (al-Qamar/54: 7).
                Dalam surat Al-Hajj : 7, Allah berfirman, "Sesungguhnya Allah membangkitkan orang-orang yang berada di kubur." Kalau sekiranya ma’ad hanyalah sebatas ruh saja, maka mengapa ayat-ayat Alquran berbicara tentang kubur ? Sedangkan ruh tidak berada di kubur, melainkan badan yang berada di kubur. Di samping itu semua contoh dalam al-Qur’an adalah untuk membuktikan kesederhanaan ma’ad adalah berhubungan dengan ma’ad jasmani. Dan yang dipungkiri oleh orang kafir adalah ma’ad jasmani.
                   Pada suatu hari seorang lelaki Badui datang menemui Rasul. Ia membawa tulang belulang. Lantas ia bertanya, "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh ?" Saat itu juga Allah memberikan jawabannya, "Katakanlah : "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pada kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk."
                   Dalam ayat lain Allah berfirman, "Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka ke luar dengan segera dari kuburnya menuju Tuhan mereka." Seorang lelaki jahiliah berkata, "Apakah Dia menjanjikan kepada kalian bahwa kalau kalian mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kalian akan dibangkitkan lagi ?"
                    Semua ayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwa Rasul seringkali berbicara tentang ma’ad jasmani. Oleh karena itulah al-Qur’an memberikan contoh ma’ad jasmani dalam dunia tumbuhan yang manusia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Jika seorang Muslim mau meluangkan waktunya untuk membaca al-Qur’an niscaya ia tidak akan mengingkari ma’ad (kebangkitan) jasmani. [10]
4.      Keyakinan pada Ma’ad Banyak Pengaruhnya
Keyakinan pada ma’ad sangat besar pengaruhnya pada kehidupan. Sebagai contoh, sekiranya undang-undang dan aturan hukum tidak lagi berlaku dalam suatu sistem pemerintahan dari suatu negara, pasti negara itu akan kacau balau. Setiap orang akan menjadi berani melakukan tindakan kriminalitas, sebab ia tahu bahwa ia tidak akan mendapatkan hukuman atau sanksi. Orang yang percaya pada ma’ad dan hari perhitungan, ia tidak akan berbuat semena-mena. Imam ‘Ali tidak bersedia mengambil sebutir makanan dari mulut semut, meskipun imbalannya adalah dunia beserta isinya. Mengapa ada manusia seperti itu ? Apakah yang menjadikannya bersikap demikian ? Tidak ada yang lain, karena Imam mempercayai hari perhitungan. Kepercayaannya, lebih tinggi dari kepercayaan manusia biasa. Imam ‘Ali berkata, "Seandainya surga dan neraka ditunjukkannya kepadaku, maka imanku tidak akan bertambah." Mengapa demikian ? Karena tanpa diperlihatkan pun imannya sudah sempurna.[11]
Percaya kepada adanya kehidupan setelah mati atau di alam akhirat akan memotivasi setiap indivudu muslim untuk memperbanyak amal shaleh karena di alam itulah segala amal yang yang dilakukan didunia akan mendapat balasan yang seadil-adilnya dan akan menumbuhkan kehati-hati dalam melakukan sesuatu.. Menurut al-Qur’an kehidupan di akhirat adalah yang final dan bertempat di bumi ini juga. Al-Qur’an memberikan sanggahan terhadap pengingkaran kaum musyrikin dengan tiga argumen, yaitu argumen hikmah, argumen keadilan dan tujuan penciptaan.
  
[4]M. Ishom El Saha dan Saiful Hadi, Sketsa Al-Qur’an: Tempat, Tokoh, Nama dan Istilah dalam al-Qur’an ( Jakarta: PT. Lista Fariska Putra, 2005), 37.
[5]M. Ishom El Saha dan Saiful Hadi, Sketsa Al-Qur’an: Tempat, Tokoh, Nama dan Istilah dalam al-Qur’an), 38.

[6]Agus Mustofa. Ternyata Akhirat Tidak Kekal,  (Ed). Barra,  (Surabaya: Padma Press, 2004), 112 .

[7]Agus Mustofa. Ternyata Akhirat Tidak Kekal,  120-122.

[8]M. Qurash Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, 110-111.


[10] asyik-gratisc.blogspot.com (didownload 14 April, 2011).


[11]asyik-gratisc.blogspot.com didownload pada 15 April, 2011.



0 komentar: