Akhirat secara bahasa berarti yang
akhir (kemudian). Dalam arti luas, term akhirat, mengacu kepada fase, tempat,
atau perihal kehidupan seseorang setelah selesai menjalani kehidupan di dunia
ini. Sedangkan dalam arti sempit term itu mengacu kepada fase, tempat, atau
perihal kehidupan manusia, sejak terjadinya kehancuran total manusia dan alam
semesta. Menurut ahli kalam, akhirat ialah hari manusia bangun atau dibankitkan
dari kubur untuk digiring ke padang mahsyar, tempat mereka dikumpulkan
sementara sebelum ditentukan tempat mereka, syurga atau neraka.[4]
Berdasarkan definisi tersebut, umat
Islam pada umumnya menyakini bahwa alam akhirat itu bersifat materi dan fisik,
dengan pengertian materi akhirat lain dari materi dunia. Benda-benda dunia ini
dan benda-benda akhirat hanya sama nama dan sebutan, tapi hakikatnya berbeda,
karena yang tersedia di akhirat itu adalah sesuatu yang tidak pernah terlihat
manusia. Kalangan terpelajar memahami definisi tersebut sebagai upaya merealisasikan
hal-hal yang bersifat spiritual, agar akhirat itu dipahami dan iman kepadanya
dapat memotivasi untuk tekun beramal shaleh di dunia ini.[5]
Agus Mustofa dalam bukunya “Ternyata
Akhirat Tidak Kekal“ membedakan antara
kehidupan dunia dengan kehidupan di akhirat,
ia melihat dari dua sudut pandang , yaitu waktu dan tempat
berlangsungnya. Pertama, dari segi waktu kata dunyâ berarti
dekat. Artinya kehidupan dunia adalah yang dekat dengan kita alami sekarang,
sedangkan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang berikut, yakni setelah
kehidupan dunia. Maksudnya, kehidupan akhirat adalah kehidupan yang terakhir
dengan kata lain adalah kehidupan final.[6] Kedua,
tempat berlangsungnya. Secara umum kita dapat mengatakan bahwa kehidupan
dunia dan akhirat terjadi di bumi. Timbul pertanyaan, apa bedanya? Perbedaannya
adalah bumi di dunia dan di akhirat tidak sama. Bumi di akhirat adalah bumi
yang mengalami banyak perubahan secara radikal. Sebagaimana firman Allah:
48. (yaitu) pada hari (ketika) bumi
diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan meraka semuanya
(di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi
Maha Perkasa. (Ibrahim/14: 48).
25. Allah berfirman: "Di bumi itu
kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan
dibangkitkan.
(al-‘Araf/7: 25).
Dari
ayat ini dia berkesimpulan, boleh jadi, telah membalik kenyakinan manyoritas umat
Islam selama ini yang mengatakan bahwa alam akhirat ini adalah sebuah alam ghaib, yang entah terjadi
dimana. Namun kalau kita menyimak kedua ayat tersebut, maka telihat bahwa alam
akhirat akan terjadi di bumi ini. Karena manusia meninggal di bumi dan di
hidupkan di bumi pula. Bukankan permulaan alam akhirat ditandai dengan
kebangkitan manusia dari alam kubur.[7]
Al-Quran menginformasikan bahwa pada
umumnya masyarakat Arab di masa Nabi meragukan bahkan mengingkari adanya hari
akhir; semetara yang percaya pun memiliki kepercanyaan keliru. Diantaranya,
firman Allah Swt:
49. dan mereka berkata: "Apakah bila Kami telah menjadi
tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah Kami akan
dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?"( al-Isra/17: 49).
29. dan tentu
mereka akan mengatakan (pula): "Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia ini
saja, dan kita sekali-sekali tidak akan dibangkitkan .( al-'An'ȃm/ 7: 29).
38. mereka
bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: "Allah
tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". (tidak demikian), bahkan
(pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah,
akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (an-Nahl/16: 38).[8]
1) Argumentasi Hikmah
Apabila kita memandang kehidupan dunia ini tanpa adanya kehidupan yang
lain, maka kehidupan dunia ini akan terasa nihil dan tanpa makna. Persis
seperti kita beranggapan bahwa kehidupan di alam rahim tanpa adanya kehidupan
dunia setelahnya adalah hampa.
Berdasarkan tata cipta, apabila manusia pada awal detik-detik penciptaannya
akan binasa dan mati, betapa kehidupan alam rahim akan menjadi sebuah kehidupan
yang tanpa makna? Demikian juga apabila dibayangkan kehidupan dunia ini
terputus dari kehidupan lainnya, kehidupan ini akan mengalami kehampaan. Haruskah
kita hanya hidup selama—kurang-lebih—tujuh puluh tahun di alam dunia ini dengan
segenap masalah yang kita hadapi, lalu kita musnah begitu saja? Beberapa
lamakah kita menjalani masa muda, dan tanpa pengalaman “Hingga menjadi
matang wahai bocah ingusan.
Usia
ini akan berakhir? Beberapa lama kita harus mengejar ilmu pengetahuan, dan
setelah memperoleh segala pengetahuan, salju ketuaan datang menerpa kita.
Lalu, untuk apa kita hidup? Menyantap beberapa porsi
makanan, memakai beberapa potong pakaian, bangun dan tidur, yang berulang-ulang
terus menerus, melanjutkan aktivitas hidup yang membosankan dan melelahkan?
Sebenarnya, apakah langit yang membentang dan bumi yang menghampar, dan
seluruh pendahuluan dan pengakhiran, seluruh guru, seluruh perpustakaan besar,
dan seluruh pekerjaan-pekerjaan rumit dalam penciptaan kita dan makhluk-makhluk
yang lain; seluruhnya dialokasikan untuk makan, tidur, pakaian, dan kehidupan
materi? Di
sinilah mereka yang menolak kejadian Hari kiamat
harus mengakui kenihilan dan ketakbermaknaan hidup mereka. Ironisnya, sebagian
mereka melakukan bunuh diri untuk menyelamatkan diri dari kehidupan nihil ini,
dan itu malah menjadi kebanggaan bagi mereka. Bagaimana mungkin seseorang yang
beriman kepada Allah swt. dan kemahabijaksanaan-Nya yang tak terhingga,
meyakini bahwa kehidupan dunia ini bukan sebagai penduluan untuk memasuki
kehidupan abadi di alam lain? Firman
Allah:
115.Maka apakah kamu mengira,
bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa
kamu tidak akan dikembalikan kepada (Al-Mukminun/23: 115).
Maksudnya, apabila kamu tidak kembali ke sisi Tuhan, maka dunia ini akan
mengalami kesia-siaan dan ketanpamaknaan. Ya! Kehidupan dunia ini akan memiliki
makna dan sesuai dengan hikmah Ilahi jika “ad-dunyâ mazra'atul âkhirah”
(dunia ini merupakan ladang akhirat). Kita harus memandang dunia ini sebagai
lintasan untuk memasuki alam yang lebih luas. Dunia ini merupakan lahan
persiapan untuk menjelang dunia lain, dan pasar bagi kehidupan akan datang.
Demikianlah Amirul Mukminin Ali a.s. bersabda dalam kalimat yang sarat
makna: “Dunia ini adalah tempat yang benar bagi orang yang membenarkannya,
tempat aman bagi mereka yang memahaminya; kediaman yang kaya bagi siapa yang
mengumpulkan bekal di dalamnya (untuk kehidupan masa datang), istana nasihat
bagi yang mengambil nasihat darinya, masjid bagi para pecinta Tuhan, kediaman
ibadah para malaikat Allah, rumah bagi wahyu Ilahi, dan tempat perniagaan bagi
yang berbakti kepada Tuhan.”
Ringkasnya, menelaah dan mengkaji keadaan dunia ini dengan baik akan
memberikan kesaksian bahwa di balik kehidupan dunia ini masih terdapat
kehidupan yang lain. Firman Allah:
62.
Dan Sesungguhnya kamu Telah mengetahui penciptaan yang pertama, Maka
mengapakah kamu tidak mengambil pelajaran (untuk penciptaan yang kedua)(Al-Waqi‘ah
/56: 62)
2) Argumentasi
Keadilan (‘Adâlah)
Dengan memperhatikan
sistem semesta dan undang-undang penciptaan, seluruhnya menunjukkan bahwa
segala sesuatunya berlaku sesuai dengan perhitungan yang matang. Dalam struktur badan kita, sedemikian
sistem itu beroperasi secara adil sehingga secuil pun perubahan yang terjadi
akan menjadi sebab penyakit dan kematian. Gerakan jantung, sirkulasi darah,
kelopak mata, dan bagian sel-sel badan kita termasuk dalam sistem yang apik dan
akurat yang berlaku di alam semesta. “Wa bil-'adl qâmat as-samâwâti
wal-ardh.” Dengan keadilanlah langit dan bumi dapat tegak.” Apakah manusia
hanyalah sebuah potongan ganjil di alam semesta yang membentang ini?
Benar bahwa Allah
Swt. menganugerahkan kehendak bebas kepada manusia hingga ia diuji dan dapat
melintas dalam perjalanan menuju kesempurnaan. Akan tetapi, sekiranya manusia
menyalahgunakan kebebasan yang dimilikinya, apa yang akan terjadi? Apabila para
tiran dan orang-orang yang tersesat dan menyesatkan menyalahgunakan anugerah
Ilahi ini, apa yang dituntut oleh keadilan Ilahi? Benar bahwa sekelompok orang yang buruk
perbuatannya di dunia ini akan dikenakan hukuman atau setidaknya sebagian dari
hukuman tersebut. Akan tetapi, tentu saja tidak seluruh pelaku kejahatan
mendapatkan hukuman atas perbuatannya, atau seluruh orang-orang suci dan baik tidak
mendapatkan ganjaran dari perbuatan baik mereka di dunia ini secara tunai.
Lalu, apakah mungkin kedua kelompok ini berada pada satu telapak keadilan
Ilahi? Menurut Al-Qur’an:
35. Maka apakah patut kami menjadikan
orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir).
(Al-Qalam/68: 35-36)
Secara umum, tidak
ada keraguan tentang perbedaan manusia dalam ketaatannya kepada Allah swt,
sebagaimana juga ganjaran yang dapat diterima dunia ini tidaklah memadai.
Mahkamah fitrah, dan reaksi dosa-dosa dengan sendirinya (tanpa adanya Kiamat)
pun tidaklah cukup. Oleh karena itu, kita mesti menerima bahwa dalam upaya
menegakkan keadilan Ilahi harus terdapat sebuah mahkamah pengadilan yang
bersifat menyeluruh, sehingga sekecil apa pun kebaikan atau perbuatan buruk
harus diperhitungkan di dalamnya. Apabila tidak, asas keadilan tidak akan
pernah dapat tegak.
Dengan demikian,
harus kita terima bahwa penerimaan keadilan Tuhan sama dengan penerimaan adanya
Hari Kiamat (ma'âd) dan Hari Kebangkitan. Al-Qur’an menyebutkan
47. Kami akan memasang timbangan yang tepat
pada hari kiamat, Maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika
(amalan itu) Hanya seberat biji sawipun pasti kami mendatangkan (pahala)nya.
dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan. ( Al-Anbiya/21: 47)
54. Dan kalau setiap diri yang zalim (muayrik)
itu mempunyai segala apa yang ada di bumi ini, tentu dia menebus dirinya dengan
itu, dan mereka membunyikan penyesalannya ketika mereka Telah menyaksikan azab
itu. dan Telah diberi Keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka
tidak dianiaya. (Yunus/10: 54)
3) Argumentasi
Tujuan Penciptaan
Berbeda dengan
anggapan kaum materialis, manusia dalam pandangan dunia tauhid memiliki tujuan
dalam penciptaannya. Tujuan ini dalam terma filsafat disebut sebagai takâmul
(kesempurnaan), dan dalam bahasa Al-Qur’an dan hadis dikenal sebagai qurb
ilallôh (kedekatan diri kepada Tuhan) atau ibadah (penghambaan). “Aku
tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS.
Adz-Dzariyat [51]: 56). Di bawah cahaya penghambaan ini, mereka mencapai
kesempurnaan dan merengkuh kedekatan kepada Allah swt.
Apakah tujuan
agung ini dapat tercapai jika kematian merupakan akhir dari segalanya? Tanpa
ragu, jawaban adalah tidak (negatif). Kehidupan setelah kematian di dunia ini melazimkan adanya
dunia lain dan penyempurnaan manusia menjalani proses kontiunitas. Dan tempat
menuai hasil ladang dunia ini adalah alam sana. Bahkan, sebagaimana yang telah
kami sebutkan sebelumnya, di dunia yang lain, perjalanan menuju kesempurnaan (takâmul)
ini berlanjut sehingga tujuan akhir ini dapat tergapai.
Konklusinya,
pencapaian tujuan penciptaan ini tanpa keberadaan ma'âd tidak akan dapat
terwujud. Dan sekiranya kita memutus relasi kehidupan ini dengan kehidupan
pasca kematian, maka seluruh kehidupan ini misterius, dan kita tidak akan
pernah memiliki jawaban atas pertanyaan mengapa dan mengapa.[9]
Ada sebuah pendapat yang hanya meyakini ma’ad
ruhani. Artinya, manusia tidak akan lagi dibangkitkan dengan jasmaninya.
Hanya ruh yang akan memperoleh pahala atau siksaan. Sedangkan Ayat-ayat al-Qur’an sendiri bahwasanya ma’ad jasmani. Manusia akan
dibangkitkan dari kuburnya beserta badannya.
Adapun firman Allah Swt. yang menyebutkan bahwa
kehidupan diakhirat adalah jasmani, diantaranya:
43. (yaitu) pada hari mereka keluar dari kubur
dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala
(sewaktu di dunia), (al-Ma’arij/70:
43).
7. Sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka
keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan. (al-Qamar/54:
7).
Dalam surat Al-Hajj : 7, Allah berfirman, "Sesungguhnya Allah
membangkitkan orang-orang yang berada di kubur." Kalau sekiranya ma’ad
hanyalah sebatas ruh saja, maka mengapa ayat-ayat Alquran berbicara tentang
kubur ? Sedangkan ruh tidak berada di kubur, melainkan badan yang berada di
kubur. Di samping itu semua contoh dalam al-Qur’an adalah untuk membuktikan
kesederhanaan ma’ad adalah berhubungan dengan ma’ad jasmani. Dan yang
dipungkiri oleh orang kafir adalah ma’ad jasmani.
Pada suatu hari seorang lelaki Badui datang menemui Rasul. Ia membawa
tulang belulang. Lantas ia bertanya, "Siapakah yang dapat menghidupkan
tulang belulang yang telah hancur luluh ?" Saat itu juga Allah memberikan
jawabannya, "Katakanlah : "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang
menciptakannya pada kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala
makhluk."
Dalam ayat lain Allah berfirman, "Dan ditiuplah sangkakala, maka
tiba-tiba mereka ke luar dengan segera dari kuburnya menuju Tuhan mereka."
Seorang lelaki jahiliah berkata, "Apakah Dia
menjanjikan kepada kalian bahwa kalau kalian mati dan telah menjadi tanah dan
tulang belulang, kalian akan dibangkitkan lagi ?"
Semua ayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwa Rasul seringkali
berbicara tentang ma’ad jasmani. Oleh karena itulah al-Qur’an memberikan
contoh ma’ad jasmani dalam dunia tumbuhan yang manusia melihat dengan
mata kepalanya sendiri. Jika seorang Muslim mau meluangkan waktunya untuk
membaca al-Qur’an niscaya ia tidak akan mengingkari ma’ad (kebangkitan) jasmani.
[10]
4.
Keyakinan pada Ma’ad Banyak Pengaruhnya
Keyakinan pada ma’ad sangat besar pengaruhnya pada
kehidupan. Sebagai contoh, sekiranya undang-undang dan aturan hukum tidak lagi
berlaku dalam suatu sistem pemerintahan dari suatu negara, pasti negara itu
akan kacau balau. Setiap orang akan menjadi berani melakukan tindakan
kriminalitas, sebab ia tahu bahwa ia tidak akan mendapatkan hukuman atau
sanksi. Orang yang percaya pada ma’ad dan hari perhitungan, ia tidak
akan berbuat semena-mena. Imam ‘Ali tidak bersedia mengambil sebutir makanan
dari mulut semut, meskipun imbalannya adalah dunia beserta isinya. Mengapa ada
manusia seperti itu ? Apakah yang menjadikannya bersikap demikian ? Tidak ada
yang lain, karena Imam mempercayai hari perhitungan. Kepercayaannya, lebih
tinggi dari kepercayaan manusia biasa. Imam ‘Ali berkata, "Seandainya
surga dan neraka ditunjukkannya kepadaku, maka imanku tidak akan
bertambah." Mengapa demikian ? Karena tanpa diperlihatkan pun imannya
sudah sempurna.[11]
Percaya kepada
adanya kehidupan setelah mati atau di alam akhirat akan memotivasi setiap
indivudu muslim untuk memperbanyak amal shaleh karena di alam itulah segala
amal yang yang dilakukan didunia akan mendapat balasan yang seadil-adilnya dan
akan menumbuhkan kehati-hati dalam melakukan sesuatu.. Menurut al-Qur’an
kehidupan di akhirat adalah yang final dan bertempat di bumi ini juga.
Al-Qur’an memberikan sanggahan terhadap pengingkaran kaum musyrikin dengan tiga
argumen, yaitu argumen hikmah, argumen keadilan dan tujuan penciptaan.
[5]M. Ishom El
Saha dan Saiful Hadi, Sketsa Al-Qur’an: Tempat, Tokoh, Nama dan Istilah
dalam al-Qur’an), 38.
[6]Agus Mustofa. Ternyata
Akhirat Tidak Kekal, (Ed).
Barra, (Surabaya: Padma Press, 2004),
112 .
[7]Agus Mustofa. Ternyata
Akhirat Tidak Kekal, 120-122.
[8]M. Qurash Shihab, Wawasan
Al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, 110-111.
[10] asyik-gratisc.blogspot.com
(didownload 14 April, 2011).
0 komentar:
Post a Comment