Santa Mars

Laki-laki, 18 tahun

Malang, Indonesia

Banggalah pada dirimu sendiri, Meski ada yang tak Menyukai. Kadang mereka membenci karena Mereka tak mampu menjadi seperti dirimu.
::
Start
Windows 8 SM Versi 3
Shutdown

Navbar3

Search This Blog

Wednesday 5 June 2013

HIKMAH BERIMAN KEPADA TAKDIR

>Makna Takdir[1]
Kata takdir berkaitan dengan istilah bahasa Arab yaitu Qadha’ dan Qadar (Al Qadar khairuhu wa syarruhu). Secara etimologis qadha’ merupakan bentuk mashdar dari qadha berarti kehendak atau ketetapan hukum, tentu saja kehendak dan ketetapan hukum Allah swt yang dimaksudkan di sini. Qadar bentuk mashdar dari qadara berarti ukuran atau ketentuan, lagi ukuran atau ketentuan Allah Swt terhadap segala sesuatunya yang dimaksudkan di sini.
Secara terminologis para ulama berbeda pendapat ada yang menyamakan makna dari kedua istilah tersebut dan ada yang membedakannya. Para ulama yang membedakan, qadar ialah ilmu Allah swt tentang apa-apa yang akan terjadi pada seluruh makhluk-Nya di masa mendatang. Qadha ialah penciptaan segala sesuatu oleh Allah swt sesuai dengan ilmu dan iradah-Nya. Bagi para ulama yang menyamakan, sebagaimana yang dikutip oleh Yunahar Ilyas di dalam Yasin (1983: 16) baik qadha’ dan qadar merupakan segala ketentuan, undang-undang, peraturan dan hukum yang ditetapkan secara pasti oleh Allah swt untuk segala yang ada (maujud), yang mengikat antara sebab dan akibat segala sesuatu yang terjadi.
Takdir atau qadar mempunyai empat tingkatan:
1.      Al-Ilmu
Allah swt maha mengetahui segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi dan yang akan terjadi. Tidak satupun luput dari ilmu Allah swt. Allah swt berfirman dalam surah-surah berikut ini: 
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi. (Q.S. Al-Hajj (22):70) 
Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr 59:22)
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)".
(QS. Al-An’am (6):59)
2.      Al-Kitabah
Allah swt telah menuliskan segala sesuatu di lauh mahfuzh, apa yang telah terjadi pada masa yang lalu, apa yang terjadi sekarang dan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang dan tulisan tersebut akan tetap ada sampai hari kiamat. Allah swt berfirman dalam surah-surah berikut:
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang   ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu Amat mudah bagi Allah.” (Q.S. Al-Hajj (22): 70)
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid (57): 22)
3.      Al-Masyi’ah
Allah swt mempunyai kehendak terhadap segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi (masyiatullah) maksudnya, kalau Allah menghendaki sesuatu tidak akan ada yang dapat menghalangi kehendak-Nya, begitu pula sebaliknya, kehendak siapa pun tidak akan terjadi kalau tidak dikehendaki oleh Allah swt. Firman-Nya dalam Alquran berikut:   
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Insan (76): 30)

Yaitu bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. At-Takwir (81): 28-29)
4.      Al-Khalq
Allah swt menciptakan segala sesuatu dan selain Allah Yang Maha Mencipta adalah makhluk. Allah berfirman dalam surah berikut:
“ Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”(Q.S. Az-Zumar (39): 62)
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
(Q.S. As-Syaffat (37): 96)
Iman kepada Allah mencakup dari keempat tingkatan di atas. Artinya segala perbuatan, perkataan, baik segala hal yang tidak dilakukan oleh manusia baik diketahui, dituliskan, dikehendaki, dan diciptakan oleh Allah swt.
Takdir atau ketentuan yang Allah swt tetapkan tentu memiliki hikmah dan ibrah bagi kita selaku hamba-Nya. Berikut hikmah-hikmah beriman kepada takdir:
1.      Memotivasi manusia untuk melazimkan ikhtiar dan beramal secara sungguh-sungguh agar bahagia dunia dan akhirat. Dengan kata lain mengikuti sunnatullah.
“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.” (Q.S. Adz-Dzariyaat: 22)
Ayat di atas berbicara, Allah swt menyatakan tentang rezeki baik yang di langit ataupun di bumi yang dijanjikan-Nya kepada Manusia. Kalimat  Ïä!$uK¡¡9$#Îû maksudnya perolehan rezeki yang berasal dari langit seperti sinar matahari, hujan, angin dan sebagainya. Terdapat pula apa yang dijanjikan Allah melalui Rasul-Nya kepadamu, baik yang bersifat karunia ataupun ancaman dan siksa Allah swt yang pasti akan terjadi sesuai dengan janji-Nya. Menurut Quraish Shihab Kalimat ä!$uK¡¡9$#Îû  dapat dipahami juga dalam arti alam ghaib karena segala sesuatu termasuk rezeki bersumber dari Allah Yang Maha Ghaib, serta diatur oleh malaikat-Nya. [4]
Kalimat /ä3è%øÍ pada mulanya digunakan dalam arti pemberian untuk waktu tertentu dari sini perbedaannya dengan kata hibah yang merupakan pemberian untuk selamanya. Sehingga dapat ditarik kesimpulan dari ayat ini bahwa segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan guna kelanjutan hidup makhluk, baik material maupun spiritual. Bagi manusia. Disamping makanan, minuman dan pemenuhan kebutuhan biologis, juga ilmu pengetahuan, dan kekuatan mental dan lain-lain.[5]
2.      Memperteguh sikap bertawakkal kepada Allah swt dengan menyadari bahwa manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, pada akhirnya Allah lah yang menentukannya.
“Jika Allah menolong kamu, Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), Maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal. (Q.S. Ali ‘Imron: 160)
Menurut tafsir Muyassar  pada ayat tersebut menganalogikan pada dua peperangan di zaman Rasulullah saw antara kaum muslimin dan kaum musyrikin yang mana apabila Allah swt telah menentukan kemenangan kepada kaum muslimin maka kaum musyrikin tidak bisa mengalahkan kaum muslimin dan musuh pun tidak dapat memecahbelah mereka. Jika Allah swt mentakdirkan kekalahan atas mereka maka tidak seorang manusia pun bisa menolong mereka. Maka mereka harus memohon pertolongan dari Allah swt dengan cara bertawakkal kepada-Nya, yakni terhadap janji-Nya, dan ridho dengan tuntutan agama-Nya. Ketika itulah mereka ditolong dalam urusan dunia mereka dan diberi pahala di akhirat. Sebab, yang memiliki perkara dunia dan akhirat hanyalah Allah swt semata. Hal itu menjadi peringatan agar mereka tidak cenderung kepada selain kaum muslimin, meskipun orang-orang non-muslim itu seolah-olah tampak sesuai dengan mereka.[6]   
3.      Menyadarkan pemahaman manusia bahwa semua hal yang meliputi di dunia ini berlaku sesuai dengan ketetapan dan hukum-hukum Allah. Kewajiban manusia untuk mematuhi dan menerima semua itu. 
“Dan Apakah mereka tidak melihat bahwa Sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah yang Maha cepat hisab-Nya.”
(Q.S. Ar-Ra’du (13): 41)
Ayat tersebut menjelaskan pada konteks bahwa kaum musyrikin yang membangkang akan ajaran Allah swt yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw diberikan kepada mereka ancaman. Ancaman tersebut disebutkan oleh Allah swt pada ayat sebelumnya yaitu: 
“Dan jika Kami perlihatkan kepadamu sebahagian (siksa) yang Kami ancamkan kepada mereka atau Kami wafatkan kamu (hal itu tidak penting bagimu) karena Sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka.” (Q.S. Ar-Ra’du (13): 40)
Berdasarkan tafsir Muyassar, penjelasan ayat di atas ialah apabila Kami perlihatkan kepadamu, wahai Nabi, sebagian ancaman Kami kepada orang-orang kafir berupa kehinaan dan kenistaan di dunia ini maka hal ini berarti Kami menyegerakan siksa terhadap mereka. Namun jika engkau meninggal sebelum menyaksikan ancaman Kami itu terlaksana maka tak ada kewajiban bagimu selain menyampaikan risalah dan dakwah. Allah swt yang menghisab mereka dan memberi hukuman kepada mereka.[7]

4.      Mendatangkan ketenangan jiwa dan ketentraman hidup dengan menambahkan kesyukuran ketika mendapat nikmat atau kebahagiaan. firman Allah:

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S. Ibrahim (14): 7)
Nabi Musa a.s. berkata pada umatnya, Allah swt telah menetapkan serta memutuskan bahwa sesungguhnya jika kalian bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat-Nya dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya dan meninggalkan maksiat kepada-Nya, niscaya Dia akan menambah karunia-Nya yang luas dan anugerahnya yang besar kepada kalian. Sesungguhnya nikmat itu tak akan dicabut kecuali kalau tidak disyukuri. Andaikan kalian mengingkari nikmat Allah swt, meninggakan ketaatan kepada-Nya, dan bermaksiat kepada terhadap-Nya niscaya Allah akan menyiksa kalian dengan siksaan yang pedih atas perbuatan buruk kalian.[8]
5.      Menumbuhkan sikap sabar dalam menerima ketentuan dari Allah swt karena sebagai jalan ia memperoleh kebaikan.
“Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. Huud (11): 11)
Bagi orang-orang yang menghadapi kseulitan, menerima kenikmatan dengan penuh keimanan dan kesabaran serta mengharapkan pahala dengan bersegera melakukan amal kebaikan. Mereka itulah yang akan mendapatkan ampunan dari Allah swt atas dosa yang merka lakukan. Allah juga akan membalas mereka dengan sebaik-baik pahala atas ketaatan yang mereka lakukan, sehingga dosa-dosa mereka diampuni dan amalan mereka dibalas.[9]
6.      Mendorong manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah swt yang memiliki kekuasaan dan kehendak yang mutlak, disamping memiliki kebijaksanaan, keadilan, dan kasih sayang kepada makhluknya.
“Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. al-Buruuj (85): 16)
Menurut Thabathaba’i sebagaimana yang telah dikutip oleh Quraish Shihab di dalam tafsir al-Misbah yaitu surah al-Buruuj ayat 16 yang menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu yang dapat menghalangi Allah melakukan apa yang dikehendaki-Nya tidak dari dalam, seperti bosan, malas, jemu, atau perubahan kehendak, dan lain-lain, tidak juga dari luar, yang dapat menghalangi terlaksananya kehendak-Nya.[10]

>Kesimpulan
Qadha’ dan qadar merupakan segala ketentuan, undang-undang, peraturan dan hukum yang ditetapkan secara pasti oleh Allah swt untuk segala yang ada (maujud), yang mengikat antara sebab dan akibat segala sesuatu yang terjadi. Takdir atau qadar mempunyai empat tingkatan: Al-Ilmu, Al-Kitabah, Al-Masyi’ah, dan Al-Khalq. Adapun hikmah dengan adanya takdir adalah memotivasi manusia untuk selalu berusaha dan berharap kepada Allah swt, mengistiqomahkan keimanan untuk selalu bertawakkal kepada Allah swt, menyadarkan manusia bahwa semua hal di dunia ini di bawah ketentuan Allah swt, menghadirkan ketenangan dan ketentraman jiwa dengan menambahkan kesyukuran ketika memperoleh kebahagiaan, menumbuhkan rasa sabar dalam diri ketika menerima musibah, dan memotivasi manusia untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah swt.

[1] Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam  (Yogyakarta: LPPI, 1998), Cet. Ke-4, hlm. 177
[2]  Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam,  hlm. 178-181.
[3] Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, hlm. 191-192
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,: Pesan, Kesan dan Keserasian Alqur’an, vol. 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hlm. 336
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,: Pesan, ……, hlm. 336
[6] ‘Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar 1, Juz. 1-8  (Jakarta: Qisthi Press, 2007), hlm. 325.
[7] ‘Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar 2, Juz 9-16 ( Jakarta: Qisthi Press, 2007), hlm. 361
[8] ‘Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar, hlm. 368.
[9] ‘Aidh al-Qarni, tafsir Muyassar, hlm. 229
[10] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 15 (Jakarta:Lentera Hati, 2003), hlm. 163. 

 Penulis : Fitri, Rahmawati dan Intan Kumalasari

0 komentar: