>Makna Takdir[1]
>Kesimpulan
Penulis : Fitri, Rahmawati dan Intan Kumalasari
Kata takdir berkaitan dengan istilah bahasa Arab yaitu Qadha’
dan Qadar (Al Qadar khairuhu wa syarruhu). Secara etimologis qadha’
merupakan bentuk mashdar dari qadha berarti kehendak atau
ketetapan hukum, tentu saja kehendak dan ketetapan hukum Allah swt yang
dimaksudkan di sini. Qadar bentuk mashdar dari qadara
berarti ukuran atau ketentuan, lagi ukuran atau ketentuan Allah Swt terhadap
segala sesuatunya yang dimaksudkan di sini.
Secara terminologis para ulama berbeda pendapat ada yang
menyamakan makna dari kedua istilah tersebut dan ada yang membedakannya. Para ulama yang membedakan, qadar ialah ilmu Allah
swt tentang apa-apa yang akan terjadi pada seluruh makhluk-Nya di masa
mendatang. Qadha ialah penciptaan segala sesuatu oleh Allah swt sesuai
dengan ilmu dan iradah-Nya. Bagi para ulama yang menyamakan, sebagaimana
yang dikutip oleh Yunahar Ilyas di dalam Yasin (1983: 16) baik qadha’
dan qadar merupakan segala ketentuan, undang-undang, peraturan dan hukum
yang ditetapkan secara pasti oleh Allah swt untuk segala yang ada (maujud),
yang mengikat antara sebab dan akibat segala sesuatu yang terjadi.
Takdir atau qadar mempunyai empat tingkatan:
1.
Al-Ilmu
Allah
swt maha mengetahui segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang telah terjadi, yang
sedang terjadi dan yang akan terjadi. Tidak satupun luput dari ilmu Allah swt.
Allah swt berfirman dalam surah-surah berikut ini:
“Apakah
kamu tidak mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di
langit dan di bumi.” (Q.S. Al-Hajj (22):70)
“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang
mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.” (QS.
Al-Hasyr 59:22)
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada
yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan
dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi,
dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab
yang nyata (Lauh Mahfudz)".
(QS. Al-An’am (6):59)
2. Al-Kitabah
Allah swt telah menuliskan segala
sesuatu di lauh mahfuzh, apa yang telah terjadi pada masa yang lalu, apa yang terjadi sekarang dan apa
yang akan terjadi pada masa yang akan datang dan tulisan tersebut akan tetap
ada sampai hari kiamat. Allah swt berfirman dalam surah-surah berikut:
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa
Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang
demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang
demikian itu Amat mudah bagi Allah.”
(Q.S. Al-Hajj (22): 70)
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah.” (QS.
Al-Hadid (57): 22)
3. Al-Masyi’ah
Allah swt mempunyai kehendak
terhadap segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi (masyiatullah)
maksudnya, kalau Allah menghendaki sesuatu tidak akan ada yang dapat
menghalangi kehendak-Nya, begitu pula sebaliknya, kehendak siapa pun tidak akan
terjadi kalau tidak dikehendaki oleh Allah swt. Firman-Nya dalam Alquran berikut:
“Dan kamu tidak mampu (menempuh
jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S.
Al-Insan (76): 30)
“ Yaitu
bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak
dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan
semesta alam.” (Q.S.
At-Takwir (81): 28-29)
4. Al-Khalq
Allah swt menciptakan segala
sesuatu dan selain Allah Yang Maha Mencipta adalah makhluk. Allah berfirman
dalam surah berikut:
“ Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala
sesuatu.”(Q.S.
Az-Zumar (39): 62)
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu".
(Q.S. As-Syaffat (37): 96)
Iman
kepada Allah mencakup dari keempat tingkatan di atas. Artinya segala perbuatan,
perkataan, baik segala
hal yang tidak dilakukan oleh manusia baik diketahui, dituliskan, dikehendaki,
dan diciptakan oleh Allah swt.
Takdir atau ketentuan yang Allah swt tetapkan tentu
memiliki hikmah dan ibrah bagi kita selaku hamba-Nya. Berikut
hikmah-hikmah beriman kepada takdir:
1.
Memotivasi manusia untuk
melazimkan ikhtiar dan beramal secara sungguh-sungguh agar bahagia dunia dan
akhirat. Dengan kata lain mengikuti sunnatullah.
“Dan
di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa yang
dijanjikan kepadamu.” (Q.S. Adz-Dzariyaat: 22)
Ayat di atas berbicara, Allah swt menyatakan
tentang rezeki baik yang di langit ataupun di bumi yang dijanjikan-Nya kepada
Manusia. Kalimat Ïä!$uK¡¡9$#Îû maksudnya
perolehan rezeki yang berasal dari langit seperti sinar matahari, hujan, angin
dan sebagainya. Terdapat pula apa yang dijanjikan Allah melalui Rasul-Nya
kepadamu, baik yang bersifat karunia ataupun ancaman dan siksa Allah swt yang
pasti akan terjadi sesuai dengan janji-Nya. Menurut Quraish Shihab Kalimat ä!$uK¡¡9$#Îû dapat
dipahami juga dalam arti alam ghaib karena segala sesuatu termasuk rezeki
bersumber dari Allah Yang Maha Ghaib, serta diatur oleh malaikat-Nya. [4]
Kalimat /ä3è%øÍ
pada mulanya digunakan dalam arti pemberian untuk waktu tertentu dari sini
perbedaannya dengan kata hibah yang merupakan pemberian untuk selamanya.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan dari ayat ini bahwa segala sesuatu yang dapat
dimanfaatkan guna kelanjutan hidup makhluk, baik material maupun spiritual.
Bagi manusia. Disamping makanan, minuman dan pemenuhan kebutuhan biologis, juga
ilmu pengetahuan, dan kekuatan mental dan lain-lain.[5]
2.
Memperteguh sikap bertawakkal
kepada Allah swt dengan menyadari bahwa manusia hanya bisa berusaha dan berdoa,
pada akhirnya Allah lah yang menentukannya.
“Jika Allah menolong
kamu, Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan
kamu (tidak memberi pertolongan), Maka siapakah gerangan yang dapat menolong
kamu (selain) dari Allah sesudah itu? karena itu hendaklah kepada Allah saja
orang-orang mukmin bertawakkal. (Q.S. Ali ‘Imron:
160)
Menurut tafsir Muyassar pada ayat tersebut menganalogikan pada dua
peperangan di zaman Rasulullah saw antara kaum muslimin dan kaum musyrikin yang
mana apabila Allah swt telah menentukan kemenangan kepada kaum muslimin maka
kaum musyrikin tidak bisa mengalahkan kaum muslimin dan musuh pun tidak dapat
memecahbelah mereka. Jika Allah swt mentakdirkan kekalahan atas mereka maka
tidak seorang manusia pun bisa menolong mereka. Maka mereka harus memohon
pertolongan dari Allah swt dengan cara bertawakkal kepada-Nya, yakni terhadap
janji-Nya, dan ridho dengan tuntutan agama-Nya. Ketika itulah mereka ditolong
dalam urusan dunia mereka dan diberi pahala di akhirat. Sebab, yang memiliki
perkara dunia dan akhirat hanyalah Allah swt semata. Hal itu menjadi peringatan
agar mereka tidak cenderung kepada selain kaum muslimin, meskipun orang-orang
non-muslim itu seolah-olah tampak sesuai dengan mereka.[6]
3.
Menyadarkan pemahaman manusia
bahwa semua hal yang meliputi di dunia ini berlaku sesuai dengan ketetapan dan
hukum-hukum Allah. Kewajiban manusia untuk mematuhi dan menerima semua itu.
“Dan Apakah mereka
tidak melihat bahwa Sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang
kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari
tepi-tepinya? dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang
dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah yang Maha cepat hisab-Nya.”
(Q.S.
Ar-Ra’du (13): 41)
Ayat tersebut menjelaskan pada konteks
bahwa kaum musyrikin yang membangkang akan ajaran Allah swt yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw diberikan kepada mereka ancaman. Ancaman tersebut disebutkan
oleh Allah swt pada ayat sebelumnya yaitu:
“Dan jika Kami
perlihatkan kepadamu sebahagian (siksa) yang Kami ancamkan kepada mereka atau
Kami wafatkan kamu (hal itu tidak penting bagimu) karena Sesungguhnya tugasmu
hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka.” (Q.S. Ar-Ra’du (13): 40)
Berdasarkan tafsir Muyassar, penjelasan
ayat di atas ialah apabila Kami perlihatkan kepadamu, wahai Nabi, sebagian
ancaman Kami kepada orang-orang kafir berupa kehinaan dan kenistaan di dunia
ini maka hal ini berarti Kami menyegerakan siksa terhadap mereka. Namun jika
engkau meninggal sebelum menyaksikan ancaman Kami itu terlaksana maka tak ada
kewajiban bagimu selain menyampaikan risalah dan dakwah. Allah swt yang
menghisab mereka dan memberi hukuman kepada mereka.[7]
4.
Mendatangkan ketenangan jiwa dan
ketentraman hidup dengan menambahkan kesyukuran ketika mendapat nikmat atau
kebahagiaan. firman Allah:
“Dan (ingatlah juga),
tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami
akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka
Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S. Ibrahim
(14): 7)
Nabi Musa a.s. berkata pada umatnya, Allah
swt telah menetapkan serta memutuskan bahwa sesungguhnya jika kalian bersyukur
kepada-Nya atas segala nikmat-Nya dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya dan
meninggalkan maksiat kepada-Nya, niscaya Dia akan menambah karunia-Nya yang
luas dan anugerahnya yang besar kepada kalian. Sesungguhnya nikmat itu tak akan
dicabut kecuali kalau tidak disyukuri. Andaikan kalian mengingkari nikmat Allah
swt, meninggakan ketaatan kepada-Nya, dan bermaksiat kepada terhadap-Nya
niscaya Allah akan menyiksa kalian dengan siksaan yang pedih atas perbuatan
buruk kalian.[8]
5.
Menumbuhkan sikap sabar dalam
menerima ketentuan dari Allah swt karena sebagai jalan ia memperoleh kebaikan.
“Kecuali orang-orang
yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu
beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. Huud (11):
11)
Bagi orang-orang yang menghadapi
kseulitan, menerima kenikmatan dengan penuh keimanan dan kesabaran serta
mengharapkan pahala dengan bersegera melakukan amal kebaikan. Mereka itulah
yang akan mendapatkan ampunan dari Allah swt atas dosa yang merka lakukan.
Allah juga akan membalas mereka dengan sebaik-baik pahala atas ketaatan yang
mereka lakukan, sehingga dosa-dosa mereka diampuni dan amalan mereka dibalas.[9]
6.
Mendorong manusia untuk semakin
mendekatkan diri kepada Allah swt yang memiliki kekuasaan dan kehendak yang
mutlak, disamping memiliki kebijaksanaan, keadilan, dan kasih sayang kepada
makhluknya.
“Maha Kuasa berbuat
apa yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. al-Buruuj (85):
16)
Menurut Thabathaba’i sebagaimana yang
telah dikutip oleh Quraish Shihab di dalam tafsir al-Misbah yaitu surah al-Buruuj
ayat 16 yang menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu yang dapat menghalangi Allah
melakukan apa yang dikehendaki-Nya tidak dari dalam, seperti bosan, malas,
jemu, atau perubahan kehendak, dan lain-lain, tidak juga dari luar, yang dapat
menghalangi terlaksananya kehendak-Nya.[10]
Qadha’ dan qadar merupakan segala
ketentuan, undang-undang, peraturan dan hukum yang ditetapkan secara pasti oleh
Allah swt untuk segala yang ada (maujud), yang mengikat antara sebab dan
akibat segala sesuatu yang terjadi. Takdir atau qadar mempunyai empat
tingkatan: Al-Ilmu,
Al-Kitabah, Al-Masyi’ah, dan Al-Khalq. Adapun hikmah dengan adanya takdir
adalah memotivasi manusia untuk selalu berusaha dan berharap kepada Allah swt,
mengistiqomahkan keimanan untuk selalu bertawakkal kepada Allah swt,
menyadarkan manusia bahwa semua hal di dunia ini di bawah ketentuan Allah swt,
menghadirkan ketenangan dan ketentraman jiwa dengan menambahkan kesyukuran
ketika memperoleh kebahagiaan, menumbuhkan rasa sabar dalam diri ketika
menerima musibah, dan memotivasi manusia untuk selalu mendekatkan diri kepada
Allah swt.
[1] Yunahar
Ilyas, Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: LPPI, 1998), Cet. Ke-4, hlm. 177
[3]
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, hlm. 191-192
[4] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,: Pesan, Kesan dan Keserasian Alqur’an,
vol. 13 (Jakarta:
Lentera Hati, 2003), hlm. 336
[5] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,: Pesan, ……, hlm. 336
[6]
‘Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar 1, Juz. 1-8 (Jakarta:
Qisthi Press, 2007), hlm. 325.
[7]
‘Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar 2, Juz 9-16 ( Jakarta: Qisthi Press, 2007), hlm. 361
[8]
‘Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar, hlm. 368.
[9]
‘Aidh al-Qarni, tafsir Muyassar, hlm. 229
[10]
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 15 (Jakarta:Lentera Hati, 2003), hlm. 163.
0 komentar:
Post a Comment