Santa Mars

Laki-laki, 18 tahun

Malang, Indonesia

Banggalah pada dirimu sendiri, Meski ada yang tak Menyukai. Kadang mereka membenci karena Mereka tak mampu menjadi seperti dirimu.
::
Start
Windows 8 SM Versi 3
Shutdown

Navbar3

Search This Blog

Wednesday 5 June 2013

Amar Ma’ruf Nahi Mungkar




Amar ma'ruf nahi mungkar adalah kewajiban agama terbesar seteah kewajiban iman kepada Allah Ta'ala. Sebab, Allah Ta'ala menyebutkannya dalam Al-Qur'an bersanding dengan iman kepada-Nya. Allah Ta'ala berfirman, "Kalian umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, kalian menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah." (Ali Imran: 110).
Orang muslim meyakini itu semua karena dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil akal.
1. Perintah Allah Ta'ala kepada muslimin untuk melakukan amar ma'ruf nahi mungkar dalam firman-Nya, "Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (Ali Imran: 104).
2. Penjelasan Allah Ta'ala tentang orang-orang yang berhak mendapatkan pertolongan-Nya dan kepemihakan-Nya, bahwa mereka adalah yang menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar dalam firman-firman-Nya seperti berikut.
Ø  "(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar." (Al-Hajj: 41).
Ø  "'Dan laki-laki beriman dan wanita-wanita beriman sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya." (At-Taubah: 71)
Ø  Firman Allah Ta'ala tentang wali-Nya, Luqman, ketika menasihati anaknya, "Hai anakku, dirikanlah shalat, dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (Luqman: 17).
Ø  Firman Allah Ta'ala ketika mencela Bani Israel, "Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu." (Al-Maidah: 78-79)
Ø  Firman Allah Ta'ala tentang Bani Israel, bahwa Dia menyelamatkan orang-orang yang melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, dan membinasakan orang-orang yang meninggalkannya. "Dan Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zhalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik." (Al-A'raaf: 165).
3. Perintah Rasulullah saw. untuk mengerjakan amar ma'ruf nahi mungkar dalam hadits-haditsnya, seperti dalam hadits-hadits berikut.
Ø  "Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak bisa melakukannya dengan tangannya, hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Jika tidak bisa melakukannya dengan lisannya, hendaklah ia melakukan dengan hatinya. Itulah iman yang paling lemah." (Diriwayatkan Muslim).
Ø  "Kalian harus menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, atau (kalau tidak) Allah akan mengirim hukuman kepada kalian, kemudian kalian berdoa kepada-Nya. Namun Dia tidak mengabulkan doa kalian." (Diriwayatkan At-Tarmidzi dan ia meng-hasan-kannya).
4. Penjelasan Rasulullah saw. tentang amar ma'ruf nahi mungkar dalam sabda- sabdanya, seperti dalam sabda- sabdanya berikut ini.
Ø  "Tidaklah satu kaum itu melakukan kemaksiatan-kemaksiatan dan di kalangan mereka terdapat orang yang mampu mencegahnya dari mereka namun ia tidak melakukannya, melainkan Allah meratakan siksa dari-Nya kepada mereka." (Diriwayatkan At-Tarmidzi dan ia berkata bahwa hadits ini hasan shahih).
Abu Tsa'labah Al-Khusyani r.a. bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah Ta'ala,"Orang sesat tidak akan memberikan madzarat kepada kalian jika kalian telah mendapatkan petunjuk," (Al-Maidah: 105).
Maka beliau bersabda,
"Hai Abu Tsa'labah, jika engkau melihat kekikiran ditaati, hawa nafsu diikuti, dunia diutamakan, dan setiap orang mempunyai pendapat dan bangga dengan pendapatnya, maka jagalah dirimu, dan tidak usah menggubris orang-orang awam. Karena, di belakang kalian, berpegang teguh padanya ketika itu mendapatkan pahala lima puluh orang dari kalian." Ditanyakan, "(Pahala lima puluh) orang dari mereka wahai Rasulullah?" Rasulullah saw. bersabda, "Tidak, namun seperti pahala lima puluh orang dari kalian. Karena kalian mendapatkan penolong dalam kebaikan, sedang mereka tidak mendapatkan penolong dalam kebaikan." (Diriwayatkan Abu Daud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi yang meng-hasan-kan nya).
Ø  "Tidak ada seorang nabi pun yang diutus Allah kepada salah satu umat sebelumku, melainkan ia mempunyai hawariyyun dari umatnya, orang-orang yang mengambil sunnahnya dan melaksanakan perintahnya. Kemudian sesudah mereka datanglah generasi-generasi yang berkata apa yang tidak mereka katakan, dan mengerjakan apa yang mereka tidak diperintahkan untuk mengerjakannya. Maka, barangsiapa berjihad melawan mereka dengan tangannya, ia orang Mukmin. Dan barang siapa berjihad melawan mereka dengan hatinya, ia orang Mukmin dan di hati orang tersebut tidak ada iman seberat biji pun." (Diriwayatkan Muslim).
Ø  Ketika Rasulullah saw. ditanya tentang jihad yang paling utama, beliau bersabda, "(yaitu) mengatakan kebenaran di depan penguasa yang zhalim." (Diriwayatkan Ibnu Majah, Ahmad, dan An-Nasai. Hadits ni shahih).
1. Pengalaman empiris membuktikan, bahwa jika penyakit dibiarkan begitu saja dan tidak diobati, maka ia akan merayap ke dalam tubuh. Dan akan menjadi sulit diobati jika telah melekat di badan dan merayap di dalamnya. Kemungkaran juga begitu. Jika dibiarkan begitu saja dan tidak diubah, maka tidak lama kemudian kemungkaran tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar, dan dikerjakan semua orang, dewasa dan anak kecil. Jika itu telah terjadi, maka kemungkaran tersebut sulit diubah atau dihilangkan. Ketika itulah, para pelakunya berhak mendapatkan hukuman dari Allah Ta'ala. Hukuman tidak mungkin bisa dipungkiri apa pun alasannya, sebab, ia berjalan di atas ketetapan-ketetapan Allah Ta'ala yang tidak berganti dan tidak berubah. Allah Ta'ala berfirman, "Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu." (Fathir: 43).
2. Pengalaman empiris juga membuktikan, bahwa jika sebuah rumah tidak diurus, tidak dibersihkan, dan kotoran-kotorannya tidak dibuang hingga waktu tertentu, maka akhirnya akhirnya rumah tersebut tidak layak dihuni, baunya tidak sedap, hawanya beracun, dan kuman-kuman penyakit tersebar di dalamnya. Karena kotoran-kotoran menumpuk dan terkumpul di dalamnya dalam waktu yang lama. Begitu juga, jika kemungkaran di sebagian kaum Mukminin dibiarkan begitu saja, tidak diubah, dan kebaikan tidak diperintahkan kepada mereka, maka tidak lama berselang, mereka menjadi orang-orang yang beruhani buruk, orang-orang jahat, tidak menyuruh kepada kebaikan, dan tidak melarang dari kemungkaran. Jika itu telah terjadi, maka tidak layak hidup, kemudian Allah membinasakan mereka dengan sebab-sebab dan perantaraan-perantaraan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya kekuatan Tuhanmu itu dahsyat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Perkasa, dan Maha Pemberi Hukuman.
3. Dari hasil pengamatan sehari-hari dapat diketahui, bahwa jika jiwa manusia terbiasa dengan keburukan, maka keburukan akan menjadi wataknya. Itulah kerja amar ma'ruf nahi mungkar. Jika kebaikan ditinggalkan dan tidak diperintahkan pada saat ditinggalkan, maka tidak lama kemudian, manusia terbiasa meninggalkannya, dan akhirnya mengerjakan kebaikan tersebut menjadi kemungkaran menurut mereka. Begitu juga kemungkaran jika tidak segera diubah, dan tidak cepat dihilangkan, maka beberapa saat kemudian, kemungkaran tersebut merebak, beredar luas, terbiasa dikerjakan, dianggap sebagai kewajaran, kemudian dianggap bukan kemungkaran oleh pelakunya, atau bahkan mereka menganggapnya sebagai kebaikan. Ini hati nurani yang rusak, penyimpangan pola pikir, - semoga Allah melindungi kita daripadanya - . Oleh karena itu, Allah Ta'ala, dan Rasul-Nya memerintahkan amar ma'ruf nahi mungkar, dan mewajibkannya kepada kaum Muslimin untuk menjaga kesucian mereka, kebaikan mereka, dan kedudukan tinggi mereka di antara bangsa-bangsa.[1]

عن أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان. رواه مسلم.
Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim).[2]
Maksudnya: Dengan hati artinya tindakan aktif dan bukan pasif.[3]
Dalam riwayat lain, “Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan sebesar biji sawi (sedikitpun)”
Hadits ini adalah hadits yang jami’ (mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam syari’at Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, “Hadits ini pantas untuk menjadi separuh dari agama (syari’at), karena amalan-amalan syari’at terbagi dua: ma’ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari’at.”[4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka.” [5]
Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
1.      Mengingkari dengan tangan.
2.      Mengingkari dengan lisan.
3.      Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
عن حجيفة، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: والذي نفسي بيده لتأمرن بالمعروف ولتنهون عن المنكر أو ليوشكن الله أن يبعث عليكم عذابا من عنده ثم لتدعنه ولا يستجاب لكم. رواه الترمذي.
Dari Huzaifah, sungguh Nabi Muhammad Saw. Bersabda: Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaklah kamu beramar makruf dan bernahi mungkar. Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang berbuat baik-baik di antara kamu berdo’a dan tidak dikabulkan (do’a mereka).[6]
Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Bagaimana beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan,” saya bertanya lagi: “Bagaimana dengan tangan?” Beliau menjawab, “Memisahkan di antara mereka,” dan saya melihat beliau melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka.
Dalam riwayat lain beliau berkata, “Merubah (mengingkari) dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata.”[7]
Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.
Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.
Imam Ibnu Rajab berkata -setelah menyebutkan hadits di atas dan hadits-hadits yang senada dengannya-, “Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.”[8] 
Seseorang yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tatkala ditanya, “Apakah kematian orang yang hidup?” Beliau menjawab:
من لم يعرف المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه
“Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37577)
Kemudian dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar ada berapa kaidah penting dan prinsip dasar yang harus diperhatikan, jika tidak diindahkan niscaya akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan banyak:
Ini adalah kaidah yang sangat penting dalam syari’at Islam secara umum dan dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar secara khusus, maksudnya ialah seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar ia harus memperhatikan dan mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadat dari perbuatannya tersebut, jika maslahat yang ditimbulkan lebih besar dari mafsadatnya maka ia boleh melakukannya, tetapi jika menyebabkan kejahatan dan kemungkaran yang lebih besar maka haram ia melakukannya, sebab yang demikian itu bukanlah sesuatu yang di perintahkan oleh Allah Ta’ala, sekalipun kemungkaran tersebut berbentuk suatu perbuatan yang meninggalkan kewajiban dan melakukan yang haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban dan amalan sunah yang sangat agung (mulia) maka sesuatu yang wajib dan sunah hendaklah maslahat di dalamnya lebih kuat/besar dari mafsadatnya, karena para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan dengan membawa hal ini, dan Allah tidak menyukai kerusakan, bahkan setiap apa yang diperintahkan Allah adalah kebaikan, dan Dia telah memuji kebaikan dan orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, serta mencela orang-orang yang berbuat kerusakan dalam beberapa tempat, apabila mafsadat amar ma’ruf dan nahi mungkar lebih besar dari maslahatnya maka ia bukanlah sesuatu yang diperintahkan Allah, sekalipun telah ditinggalkan kewajiban dan dilakukan yang haram, sebab seorang mukmin hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam menghadapi hamba-Nya, karena ia tidak memiliki petunjuk untuk mereka, dan inilah makna firman Allah:
يا أيها الذين آمنوا عليكم أنفسكم لا يضركم من ضل إذا اهتديتم
“Wahai orang-orang yang beriman perhatikanlah dirimu, orang yang sesat tidak akan membahayakanmu jika kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-Maa’idah: 105)
Dan beliau juga menambahkan, “Sesungguhnya perintah dan larangan jika menimbulkan maslahat dan menghilangkan mafsadat maka harus dilihat sesuatu yang berlawanan dengannya, jika maslahat yang hilang atau kerusakan yang muncul lebih besar maka bukanlah sesuatu yang diperintahkan, bahkan sesuatu yang diharamkan apabila kerusakannya lebih banyak dari maslahatnya, akan tetapi ukuran dari maslahat dan mafsadat adalah kacamata syari’at.”[9]
Imam Ibnu Qoyyim berkata, “Jika mengingkari kemungkaran menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar dan di benci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh dilakukan, sekalipun Allah membenci pelaku kemungkaran dan mengutuknya.”[10] 
Oleh karena itu perlu dipahami dan diperhatikan empat tingkatan kemungkaran dalam bernahi mungkar berikut ini:
1.      Hilangnya kemungkaran secara total dan digantikan oleh kebaikan.
2.      Berkurangnya kemungkaran, sekalipun tidak tuntas secara keseluruhan.
3.      Digantikan oleh kemungkaran yang serupa.
4.      Digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar.
Pada tingkatan pertama dan kedua disyari’atkan untuk bernahi mungkar, tingkatan ketiga butuh ijtihad, sedangkan yang keempat terlarang dan haram melakukannya.[11]
Dari pemaparan atau pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Amar ma'ruf nahi mungkar adalah kewajiban agama terbesar seteah kewajiban iman kepada Allah Ta'ala, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
1.      Mengingkari dengan tangan.
2.      Mengingkari dengan lisan.
3.      Mengingkari dengan hati.
Wajib hukumnya bagi setiap orang yang mampu melakukannya, seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar ia harus memperhatikan dan mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadat dari perbuatannya tersebut.
Demikianlah pembahasan mengenai amar makruf nahi mungkar, saya menyadari banyaknya kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, kritik maupun saran yang membangun sangat saya harapkan guna kesempurnaan pembahasan ini. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih. والله اعلم بمراده


[1] . http://www.alislamu.com/aqidah/83-beriman-kepada-kewajiban-mencintai-sahabat-sahabat-rasulullah.html. (didownload 23 Mei 2011).
[2] . Nurdin, M Tahjibu Masakati Al Mabi terjmh tt: 2003. hal. 691
[3] . Muhammad Faiz Almath. 1100 Hadits Terpilih Sinar Ajaran Muhammad. trj. Aziz Salim Basyarahil (Jakarta: Gema Insani Press, 1998)hal. 117
[4] . Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At Thufi, hal. 292
[5] . Majmu’ Fatawa, 7/427
[6] . Muhammad Faiz Almath. 1100 Hadits Terpilih Sinar Ajaran Muhammad. trj. Aziz Salim Basyarahil (Jakarta: Gema Insani Press, 1998)hal. 116
[7] . Lihat, Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/185
[8] . Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258
[9] . http://muslim.or.id/manhaj/amar-maruf-nahi-mungkar-1.html. (didownload 23 Mei 2011).
[10] . I’laamul Muwaqqi’iin, 3/4
[11] . Syarh Arba’in Nawawiyah, Syaikh Al Utsaimin, hal: 255

0 komentar: