Amar ma'ruf nahi mungkar adalah kewajiban agama terbesar
seteah kewajiban iman kepada Allah Ta'ala. Sebab, Allah Ta'ala menyebutkannya
dalam Al-Qur'an bersanding dengan iman kepada-Nya. Allah Ta'ala
berfirman, "Kalian umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
kalian menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman
kepada Allah." (Ali Imran: 110).
Orang muslim meyakini itu semua
karena dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil akal.
1. Perintah Allah Ta'ala kepada
muslimin untuk melakukan amar ma'ruf nahi mungkar dalam firman-Nya, "Dan
hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah
orang-orang yang beruntung." (Ali Imran: 104).
2. Penjelasan Allah Ta'ala tentang
orang-orang yang berhak mendapatkan pertolongan-Nya dan kepemihakan-Nya, bahwa
mereka adalah yang menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar dalam
firman-firman-Nya seperti berikut.
Ø "(Yaitu)
orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya
mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar." (Al-Hajj: 41).
Ø "'Dan
laki-laki beriman dan wanita-wanita beriman sebagian mereka menjadi penolong
bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma'ruf, mencegah dari yang
mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan
Rasul-Nya." (At-Taubah: 71)
Ø Firman Allah Ta'ala tentang
wali-Nya, Luqman, ketika menasihati anaknya, "Hai anakku,
dirikanlah shalat, dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah)." (Luqman: 17).
Ø Firman Allah Ta'ala ketika mencela
Bani Israel, "Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israel
dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka
durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang
tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang
selalu mereka perbuat itu." (Al-Maidah: 78-79)
Ø Firman Allah Ta'ala tentang Bani
Israel, bahwa Dia menyelamatkan orang-orang yang melakukan amar ma'ruf nahi
mungkar, dan membinasakan orang-orang yang meninggalkannya. "Dan
Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami
timpakan kepada orang-orang yang zhalim siksaan yang keras, disebabkan mereka
selalu berbuat fasik." (Al-A'raaf: 165).
3. Perintah Rasulullah saw. untuk
mengerjakan amar ma'ruf nahi mungkar dalam hadits-haditsnya, seperti dalam
hadits-hadits berikut.
Ø "Barang
siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan
tangannya. Jika tidak bisa melakukannya dengan tangannya, hendaklah ia
mengubahnya dengan lisannya. Jika tidak bisa melakukannya dengan lisannya,
hendaklah ia melakukan dengan hatinya. Itulah iman yang paling
lemah." (Diriwayatkan Muslim).
Ø "Kalian
harus menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, atau (kalau
tidak) Allah akan mengirim hukuman kepada kalian, kemudian kalian berdoa
kepada-Nya. Namun Dia tidak mengabulkan doa kalian." (Diriwayatkan At-Tarmidzi dan ia
meng-hasan-kannya).
4. Penjelasan Rasulullah saw. tentang
amar ma'ruf nahi mungkar dalam sabda- sabdanya, seperti dalam sabda- sabdanya
berikut ini.
Ø "Tidaklah
satu kaum itu melakukan kemaksiatan-kemaksiatan dan di kalangan mereka terdapat
orang yang mampu mencegahnya dari mereka namun ia tidak melakukannya, melainkan
Allah meratakan siksa dari-Nya kepada mereka." (Diriwayatkan At-Tarmidzi dan ia
berkata bahwa hadits ini hasan shahih).
Abu Tsa'labah Al-Khusyani r.a. bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah Ta'ala,"Orang sesat tidak akan memberikan madzarat kepada kalian jika kalian telah mendapatkan petunjuk," (Al-Maidah: 105).
Abu Tsa'labah Al-Khusyani r.a. bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah Ta'ala,"Orang sesat tidak akan memberikan madzarat kepada kalian jika kalian telah mendapatkan petunjuk," (Al-Maidah: 105).
Maka beliau bersabda,
"Hai Abu Tsa'labah, jika engkau melihat kekikiran ditaati, hawa nafsu diikuti, dunia diutamakan, dan setiap orang mempunyai pendapat dan bangga dengan pendapatnya, maka jagalah dirimu, dan tidak usah menggubris orang-orang awam. Karena, di belakang kalian, berpegang teguh padanya ketika itu mendapatkan pahala lima puluh orang dari kalian." Ditanyakan, "(Pahala lima puluh) orang dari mereka wahai Rasulullah?" Rasulullah saw. bersabda, "Tidak, namun seperti pahala lima puluh orang dari kalian. Karena kalian mendapatkan penolong dalam kebaikan, sedang mereka tidak mendapatkan penolong dalam kebaikan." (Diriwayatkan Abu Daud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi yang meng-hasan-kan nya).
"Hai Abu Tsa'labah, jika engkau melihat kekikiran ditaati, hawa nafsu diikuti, dunia diutamakan, dan setiap orang mempunyai pendapat dan bangga dengan pendapatnya, maka jagalah dirimu, dan tidak usah menggubris orang-orang awam. Karena, di belakang kalian, berpegang teguh padanya ketika itu mendapatkan pahala lima puluh orang dari kalian." Ditanyakan, "(Pahala lima puluh) orang dari mereka wahai Rasulullah?" Rasulullah saw. bersabda, "Tidak, namun seperti pahala lima puluh orang dari kalian. Karena kalian mendapatkan penolong dalam kebaikan, sedang mereka tidak mendapatkan penolong dalam kebaikan." (Diriwayatkan Abu Daud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi yang meng-hasan-kan nya).
Ø "Tidak
ada seorang nabi pun yang diutus Allah kepada salah satu umat sebelumku,
melainkan ia mempunyai hawariyyun dari umatnya, orang-orang yang mengambil
sunnahnya dan melaksanakan perintahnya. Kemudian sesudah mereka datanglah
generasi-generasi yang berkata apa yang tidak mereka katakan, dan mengerjakan
apa yang mereka tidak diperintahkan untuk mengerjakannya. Maka, barangsiapa
berjihad melawan mereka dengan tangannya, ia orang Mukmin. Dan barang siapa
berjihad melawan mereka dengan hatinya, ia orang Mukmin dan di hati orang
tersebut tidak ada iman seberat biji pun." (Diriwayatkan Muslim).
Ø Ketika Rasulullah saw. ditanya
tentang jihad yang paling utama, beliau bersabda, "(yaitu)
mengatakan kebenaran di depan penguasa yang zhalim." (Diriwayatkan
Ibnu Majah, Ahmad, dan An-Nasai. Hadits ni shahih).
1. Pengalaman empiris membuktikan,
bahwa jika penyakit dibiarkan begitu saja dan tidak diobati, maka ia akan
merayap ke dalam tubuh. Dan akan menjadi sulit diobati jika telah melekat di
badan dan merayap di dalamnya. Kemungkaran juga begitu. Jika dibiarkan begitu
saja dan tidak diubah, maka tidak lama kemudian kemungkaran tersebut dianggap
sebagai sesuatu yang wajar, dan dikerjakan semua orang, dewasa dan anak kecil.
Jika itu telah terjadi, maka kemungkaran tersebut sulit diubah atau
dihilangkan. Ketika itulah, para pelakunya berhak mendapatkan hukuman dari
Allah Ta'ala. Hukuman tidak mungkin bisa dipungkiri apa pun alasannya, sebab, ia
berjalan di atas ketetapan-ketetapan Allah Ta'ala yang tidak berganti dan tidak
berubah. Allah Ta'ala berfirman, "Maka sekali-kali kamu tidak akan
mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan
menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu." (Fathir: 43).
2. Pengalaman empiris juga
membuktikan, bahwa jika sebuah rumah tidak diurus, tidak dibersihkan, dan
kotoran-kotorannya tidak dibuang hingga waktu tertentu, maka akhirnya akhirnya
rumah tersebut tidak layak dihuni, baunya tidak sedap, hawanya beracun, dan
kuman-kuman penyakit tersebar di dalamnya. Karena kotoran-kotoran menumpuk dan
terkumpul di dalamnya dalam waktu yang lama. Begitu juga, jika kemungkaran di
sebagian kaum Mukminin dibiarkan begitu saja, tidak diubah, dan kebaikan tidak
diperintahkan kepada mereka, maka tidak lama berselang, mereka menjadi
orang-orang yang beruhani buruk, orang-orang jahat, tidak menyuruh kepada
kebaikan, dan tidak melarang dari kemungkaran. Jika itu telah terjadi, maka
tidak layak hidup, kemudian Allah membinasakan mereka dengan sebab-sebab dan
perantaraan-perantaraan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya kekuatan Tuhanmu itu
dahsyat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Perkasa, dan Maha Pemberi Hukuman.
3. Dari hasil pengamatan sehari-hari
dapat diketahui, bahwa jika jiwa manusia terbiasa dengan keburukan, maka
keburukan akan menjadi wataknya. Itulah kerja amar ma'ruf nahi mungkar. Jika
kebaikan ditinggalkan dan tidak diperintahkan pada saat ditinggalkan, maka
tidak lama kemudian, manusia terbiasa meninggalkannya, dan akhirnya mengerjakan
kebaikan tersebut menjadi kemungkaran menurut mereka. Begitu juga kemungkaran
jika tidak segera diubah, dan tidak cepat dihilangkan, maka beberapa saat
kemudian, kemungkaran tersebut merebak, beredar luas, terbiasa dikerjakan,
dianggap sebagai kewajaran, kemudian dianggap bukan kemungkaran oleh pelakunya,
atau bahkan mereka menganggapnya sebagai kebaikan. Ini hati nurani yang rusak,
penyimpangan pola pikir, - semoga Allah melindungi kita daripadanya - . Oleh
karena itu, Allah Ta'ala, dan Rasul-Nya memerintahkan amar ma'ruf nahi mungkar,
dan mewajibkannya kepada kaum Muslimin untuk menjaga kesucian mereka, kebaikan
mereka, dan kedudukan tinggi mereka di antara bangsa-bangsa.[1]
عن أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى
الله عليه وسلم يقول: من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن
لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان. رواه مسلم.
Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa
di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah
(mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah
(mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan
hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim).[2]
Maksudnya: Dengan hati artinya tindakan aktif
dan bukan pasif.[3]
Dalam riwayat lain, “Tidak ada
sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan sebesar biji sawi (sedikitpun)”
Hadits ini adalah hadits yang jami’ (mencakup
banyak persoalan) dan sangat penting dalam syari’at Islam, bahkan sebagian
ulama mengatakan, “Hadits ini pantas untuk menjadi separuh dari agama
(syari’at), karena amalan-amalan syari’at terbagi dua: ma’ruf (kebaikan) yang
wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib
diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari’at.”[4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya
maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini
(dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin
itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir
dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari
hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah
bersabda, “Tidaklah ada sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang
beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan
yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan)
tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih
sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan
apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang
terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam
keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya
khitab (perintah) kepada mereka.” [5]
Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas
menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang
beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
1. Mengingkari dengan tangan.
2. Mengingkari dengan lisan.
3. Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap
orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas,
dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya
dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap
bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan
mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
عن
حجيفة، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: والذي نفسي بيده لتأمرن بالمعروف ولتنهون
عن المنكر أو ليوشكن الله أن يبعث عليكم عذابا من عنده ثم لتدعنه ولا يستجاب لكم. رواه الترمذي.
Dari Huzaifah, sungguh Nabi Muhammad Saw.
Bersabda: Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaklah kamu beramar makruf
dan bernahi mungkar. Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu
orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang berbuat
baik-baik di antara kamu berdo’a dan tidak dikabulkan (do’a mereka).[6]
Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin
Hambal, “Bagaimana beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau
menjawab, “Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan,” saya
bertanya lagi: “Bagaimana dengan tangan?” Beliau
menjawab, “Memisahkan di antara mereka,” dan saya melihat
beliau melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan
di antara mereka.
Dalam riwayat lain beliau berkata, “Merubah
(mengingkari) dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata.”[7]
Adapun dengan lisan seperti memberikan
nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari
amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang
mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk
kebatilan.
Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan
hati) artinya adalah membenci kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah
kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan
kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya
maka ia akan binasa.
Imam Ibnu Rajab berkata -setelah menyebutkan
hadits di atas dan hadits-hadits yang senada dengannya-, “Seluruh
hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan
kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus dilakukan,
barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini pertanda hilangnya
keimanan dari hatinya.”[8]
Seseorang yang tidak mengingkari dengan
hatinya maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan hidup, sebagaimana
perkataan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tatkala ditanya, “Apakah
kematian orang yang hidup?” Beliau menjawab:
من لم يعرف المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه
“Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan
hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah
dalam Mushonnaf beliau no. 37577)
Kemudian dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar
ada berapa kaidah penting dan prinsip dasar yang harus diperhatikan, jika tidak
diindahkan niscaya akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan banyak:
Ini adalah kaidah yang sangat penting dalam
syari’at Islam secara umum dan dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar secara
khusus, maksudnya ialah seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar ia harus
memperhatikan dan mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadat dari
perbuatannya tersebut, jika maslahat yang ditimbulkan lebih besar dari
mafsadatnya maka ia boleh melakukannya, tetapi jika menyebabkan kejahatan dan
kemungkaran yang lebih besar maka haram ia melakukannya, sebab yang demikian
itu bukanlah sesuatu yang di perintahkan oleh Allah Ta’ala, sekalipun
kemungkaran tersebut berbentuk suatu perbuatan yang meninggalkan kewajiban dan
melakukan yang haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika
amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban dan amalan sunah yang sangat
agung (mulia) maka sesuatu yang wajib dan sunah hendaklah maslahat di dalamnya
lebih kuat/besar dari mafsadatnya, karena para rasul diutus dan kitab-kitab
diturunkan dengan membawa hal ini, dan Allah tidak menyukai kerusakan, bahkan
setiap apa yang diperintahkan Allah adalah kebaikan, dan Dia telah memuji
kebaikan dan orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang yang beriman serta
beramal saleh, serta mencela orang-orang yang berbuat kerusakan dalam beberapa
tempat, apabila mafsadat amar ma’ruf dan nahi mungkar lebih besar dari
maslahatnya maka ia bukanlah sesuatu yang diperintahkan Allah, sekalipun telah
ditinggalkan kewajiban dan dilakukan yang haram, sebab seorang mukmin hendaklah
ia bertakwa kepada Allah dalam menghadapi hamba-Nya, karena ia tidak memiliki
petunjuk untuk mereka, dan inilah makna firman Allah:
يا أيها الذين آمنوا عليكم أنفسكم لا يضركم من ضل إذا
اهتديتم
“Wahai orang-orang yang beriman perhatikanlah
dirimu, orang yang sesat tidak akan membahayakanmu jika kamu mendapat
petunjuk.” (QS.
Al-Maa’idah: 105)
Dan beliau juga menambahkan, “Sesungguhnya
perintah dan larangan jika menimbulkan maslahat dan menghilangkan mafsadat maka
harus dilihat sesuatu yang berlawanan dengannya, jika maslahat yang hilang atau
kerusakan yang muncul lebih besar maka bukanlah sesuatu yang diperintahkan,
bahkan sesuatu yang diharamkan apabila kerusakannya lebih banyak dari
maslahatnya, akan tetapi ukuran dari maslahat dan mafsadat adalah kacamata
syari’at.”[9]
Imam Ibnu Qoyyim berkata, “Jika mengingkari
kemungkaran menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar dan di benci oleh Allah dan
Rasul-Nya, maka tidak boleh dilakukan, sekalipun Allah membenci pelaku
kemungkaran dan mengutuknya.”[10]
Oleh karena itu perlu dipahami dan
diperhatikan empat tingkatan kemungkaran dalam bernahi mungkar berikut ini:
1. Hilangnya kemungkaran secara total
dan digantikan oleh kebaikan.
2. Berkurangnya kemungkaran,
sekalipun tidak tuntas secara keseluruhan.
3. Digantikan oleh kemungkaran yang
serupa.
4. Digantikan oleh kemungkaran yang
lebih besar.
Pada tingkatan pertama dan kedua disyari’atkan untuk
bernahi mungkar, tingkatan ketiga butuh ijtihad, sedangkan yang keempat
terlarang dan haram melakukannya.[11]
Dari pemaparan atau pembahasan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa Amar ma'ruf nahi mungkar adalah kewajiban agama
terbesar seteah kewajiban iman kepada Allah Ta'ala, dan dalam mengingkari
kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
1. Mengingkari dengan tangan.
2. Mengingkari dengan lisan.
3. Mengingkari dengan hati.
Wajib
hukumnya bagi setiap orang yang mampu melakukannya, seseorang yang beramar
ma’ruf dan nahi mungkar ia harus memperhatikan dan mempertimbangkan antara
maslahat dan mafsadat dari perbuatannya tersebut.
Demikianlah
pembahasan mengenai amar makruf nahi mungkar, saya menyadari banyaknya
kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, kritik maupun saran yang
membangun sangat saya harapkan guna kesempurnaan pembahasan ini. Atas
perhatiannya, kami ucapkan terima kasih. والله اعلم
بمراده
[1]
. http://www.alislamu.com/aqidah/83-beriman-kepada-kewajiban-mencintai-sahabat-sahabat-rasulullah.html. (didownload 23 Mei 2011).
[2]
. Nurdin, M Tahjibu Masakati Al Mabi terjmh tt: 2003. hal. 691
[3] . Muhammad Faiz Almath. 1100 Hadits Terpilih Sinar
Ajaran Muhammad. trj. Aziz Salim Basyarahil (Jakarta: Gema Insani Press,
1998)hal. 117
[4] . Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At
Thufi, hal. 292
[5] . Majmu’ Fatawa, 7/427
[6]
. Muhammad Faiz Almath. 1100 Hadits Terpilih Sinar
Ajaran Muhammad. trj. Aziz Salim Basyarahil (Jakarta: Gema Insani Press,
1998)hal. 116
[7] . Lihat, Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih,
1/185
[8] . Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258
[10] . I’laamul Muwaqqi’iin, 3/4
[11] . Syarh Arba’in Nawawiyah, Syaikh Al Utsaimin,
hal: 255
0 komentar:
Post a Comment