Hadits adalah pedoman umat Islam setelah Al-Quran, namun terlepas
dari itu masih banyak umat Islam yang sedikit sekali pemahamannya tentang
hadits. Oleh karena itu, pemakalah akan mencoba membahas ilmu hadits tentang
dikuatkan atau tidaknya sebuah hadis. Ada bermacam-macam hadits, dan Faktor-Faktor Yang
Memungkinkan Dikuatkan Atau Tidaknya Sebuah Hadist. Faktor mengapa hadis itu
dikuatkan karena, hadis itu muttashil sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil
dan dhabith (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari
kejanggalan (syadzdz), dan cacat (‘illat).[1]
Yang dimaksud dalam kajian ini adalah
bagian ke-dua dari klasifikasi berita yang diterima, yaitu Hasan Li Dzâtihi
(Hasan secara independen). Barangkali sebagian kita sudah pernah membaca atau
mendengar tentang istilah ini, namun belum mengetahui secara persis apa yang
dimaksud dengannya.
Itulah yang akan kita coba untuk
mengulasnya secara ringkas tapi padat, insya Allah.
Namun sudah tentu makalah ini jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, pemakalah sangat mengharapkan masukan,
kritik, atau saran yang membangun untuk melengkapi kekurangan yang ada di
makalah ini.
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan
dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum
dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain
Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan
sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.[2]
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan
referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim,
Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
Sedangkan faktor mengapa
hadis itu lemah atau tidak kuatnya karena tidak memenuhi beberapa persyaratan
hadis shahih misalnya karena tidak bersambung sanad-nya, tidak adil dan tidak
dapat diandalkan kekuatan daya ingat
atau hapalan para perawi dalam seluruh sanad, atau karena adanya keganjilan
baik dalam sanad atau pada matan, dan atau karena adanya cacat-cacat yang
tersembunyi baik dalam sanad maupun dalam matan.[3]
Hadits Hasan (bahasa Arab: حسن Ḥasan) adalah tingkatan hadits yang ada dibawah hadits Shahih. Menurut Imam Tirmidzi, hadits Hasan adalah
hadits yang tidak berisi informasi yang bohong, tidak bertentangan dengan
hadits lain dan Al-Qur'an dan informasinya kabur,
serta memiliki lebih dari satu Sanad. Selain itu, menurut Abdul Karim, hadits Hasan juga merupakan hadits yang diriwayatkan oleh rawi
terkenal dan disetujui keakuratannya oleh sebagian besar pakar hadits.[4]
Syarat-syarat
hadits disebut Hasan secara keseluruhan hampir sama dengan syarat-syarat hadits
Shahih. 5 syarat hadits Hasan yaitu:[5]
- sanadnya bersambung,
- diriwayatkan oleh rawi yang adil
- diriwayatkan oleh rawi yang hafal (dhabith), tapi tingkat kehafalannya masih dibawah hadits Shahih,
- tidak bertentangan dengan hadits dengan rawi yang tingkat dipercayanya lebih tinggi atau Al-Qur'an,
- tidak terdapat cacat.
Perbedaan hadits Shahih dan
hasan terletak pada kedhabithannya. Jika hadits Shahih tingkat dhabithnya
harus tinggi, maka hadits hasan tingkat kedhabithannya berada
dibawahnya. Contoh hadits Hasan adalah seperti hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Amr bin al-Qamah, dari Salamah,
dari Abu Hurairah. Dalam hadits ini, hadits
dikategorikan hasan dikarenakan Muhammad bin Amr bin al-Qamah dikenal tingkat
hafalannya yang tidak luar biasa.[6]
Adapun Hadis hasan terbagi
kepada hasan li dzatih dan hasan li ghairih, namun yang kita
bahas sekarang ialah hadis hasan li ghairih.
Hadis hasan li ghairih ada
beberapa pendapat di antaranta adalah:[7]
Ø
Hadis yang dhaif jika diriwayatkan
melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat
Ø
Hadis dhaif jika berbilangan jalan
sanadnya dan sebab kedha’ifan bukan karena fasik atau dustanya perawi
Dari devinisi di atas dapat
dipahami bahwa hadis dha’if bisa naik menjadi hasan li ghairih. Hasan li
ghairih adalah hadis dha’if yang bukan dikarenakan rawinya pelupa,
banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi, dan syahid. Hadis
dhaif yang karena rawinya buruk hapalannya, tidak dikenal identitasnya,
dan menyembunyikan kecacatan dapat naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi
karena dibantu oleh-oleh hadis-hadis lain yang semisal dan semakna atau
karena banyak rawi yang meriwayatkannya.[8]
Hadis shahih As-Shahih dalam
bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata as-Saqim orang yang sakit
jadi yang dimaksudkan hadis shahih adalah hadis yang sehat dan benar tidak
terdapat penyakit dan cacat. Dalam istilah hadis shahih adalah:[9]
Hadis yang muttashil sanadnya, diriwayatkan oleh
orang yang adil dan dhabith sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan,
dan cacat.
Hadis shahih terbagi kepada
menjadi dua, yaitu shahih li dzatih dan shahih li ghairih.
Hadis shahih li ghairih
adalah hadis hasan li dzatihi ketika ada periwayatannya melelui jalan lain
yang sama atau lebih kuat dari padanya.[10] Jadi hadis shahih
li ghairih adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara
maksimal. Misalnya, rawinya yang adil tetapi, tidak sempurna ke-dhabith-annya
(kapasitas intelektualnya rendah). Bila jenis ini dikukuhkan oleh jalur lain
semisal, maka ia menjadi shahih li ghairih. Lain halnya dengan shahih
li dzatihi, hadis ini sahih dan memenuhi syarat-syaratnya dengan maksimal.
Dengan demikian, shahih li ghairih adalah hadis yang keshahihannya
disebabkan oleh faktor lain karena tidak memenuhi syarat-syarat secara
maksimal.[11]
Perhatian terhadap sanad di
masa sahabat yaitu dengan menghapal sanad-sanad itu dan mereka mempuyai daya
ingat yang luar biasa. Dengan adanya perhatian mereka maka terpelihara sunnah
Rasul dari tangan-tangan ahli bid’ah dan para pendusta. Karenanya pula imam-
imam hadis berusaha pergi dan melawat ke berbagai kota untuk memperoleh sanad
yang terdekat dengan Rasul yang dilakukan sanad ‘aali.[12]
Ibn Hazm mengatakan bahwa
nukilan orang kepercayaan dari Orang yang dipercaya hingga sampai kepada Nabi
SAW. dengan bersambung-sambung perawi-perawinya adalah suatu keistimewaan dari
Allah khususnya kepada orang-orang Islam.
Dari beberapa paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang
disebut kuat atau tidaknya sebuah hadis dapat dilihat dari segi sanad atau
matan hadis. Seperti bersambung atau tidaknya sanad, cacat atau tidaknya
perawi, dhabith atau tidaknya perawi, dan ada atau tidaknya keganjilan dalam
sanad dan matan hadits. Semua itu bertujuan untuk meneliti kuat atau tidaknya
sebuah hadis.
[1] Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis, (Jakarta: PT. Bumi Aksara), h.149.
[2] http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/4/1/pustaka-94.html (didownload 10 oktober 2011)
[2] http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/4/1/pustaka-94.html (didownload 10 oktober 2011)
[3] Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis, (Jakarta: PT. Bumi Aksara), h.163.
[4] Prof. Dr.
Muhammad Alawi Al-Malikim, Ilmu Ushul Hadits. (Yogyakarta: PT. Pelajar)
[5] Prof. Dr.
Muhammad Alawi Al-Malikim, Ilmu Ushul Hadits. (Yogyakarta: PT. Pelajar),
h.147.
[6] Prof. Dr.
Muhammad Alawi Al-Malikim, Ilmu Ushul Hadits. (Yogyakarta: PT. Pelajar),
h.147.
[7] Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis, (Jakarta: PT. Bumi Aksara), h.160.
[8] M. Agus Solahuddin, Agus
Suryadi, Ulumul Hadis. (Bandung: PT. Pustaka Setia), h.146-147.
[9] Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis, (Jakarta: PT. Bumi Aksara), h.149.
[10] Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis, (Jakarta: PT. Bumi Aksara), h.155.
[11] M. Agus Solahuddin, Agus
Suryadi, Ulumul Hadis. (Bandung: PT. Pustaka Setia), h.144.
[12] http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/4/1/pustaka-94.html (didownload 10 oktober 2011)
0 komentar:
Post a Comment